Langsung ke konten utama

proyek "no name" bab 3



BAB 3: Sampai aku menyadarinya, mesato renggepun telah menghilang.

Bagian 3-1

1 bulan aku mendapatkan les privat, 1 bulan tersebutlah aku semakin mengenal sosok mesato rengge. Dia adalah seorang penyihir cilik yang sangat terkenal di dunia matematika. Tapi dunia yang dia ketahuipun bukan hanya matematika. Dia suka membaca buku, di atap sekolah ini, dia biasa meminjam dan membaca beberapa buku. Entah itu buku sastra atau hanya sekedar komik saja.

Hal yang paling aku ingat saat belajar dengannya adalah kalimat “may i have a large container of coffe?”

Mungkin beberapa dari kalian, terutama aku akan kebingungan saat pertama kali mendengar kalimat ini. mungkinkah ini sebuah sajak? Atau sebuah kata-kata? Tapi sayang tidak seperti itu. itu adalah sebuah kalimat kunci untuk mengingat nilai pi dalam matematika.

Bila kalian hitung semua huruf perkatanya, maka akan terbentuk kumpulan huruf 3,1415926 yang merupakan nilai pi.

Ya, sebenarnya banyak sekali cara unik dan trik yang dia ajarkan padaku. Walaupun aku tidak begitu mengingatnya, tapi kuyakin semua triknya sangat mudah dipahami.

Selama aku belajar dengannya, aku mengulangi ulangan harian dari iron man sebanyak 4 kali. Dan selama 4 kali inilah aku selalu dimarahi mesato rengge.

Dia berkata bahwa metode belajarnya sudah sempurna, bahkan kuman atau bakteripun pasti mengerti apa yang dia ajarkan. Tidak mungkin aku sebodoh ini, katanya dengan nada yang sangat menghina.

Tidak ada yang lebih sakit dari pada di hina oleh seorang jenius sepertinya.

Kuakui aku ini bukan siswa yang pintar ataupun atletik, aku hanya seorang penulis lepas yang suka mencari inspirasi dari berbagai hal di dekatku. Jadi soal matematika adalah hal terumit yang bisa kuhadapi.

Sambil terus belajar darinya, aku juga menyelidiki kalau saja dia adalah sosok gadis kecil yang aku temui di kala hujan itu, tapi sejauh ini aku belum mendapatkan apa-apa.

Tapi! Kali ini aku akan membuktikan, kalau 1 bulan yang berlalu ini tidak sia-sia. Kalau apa yang dia ajarkan sebenarnya tidaklah sia-sia. Dan hari inipun tiba, hari dimana aku bisa terlepas dari semua penghinaan yang selama ini dia keluarkan untukku.

Setelah melewati berbagai rintangan, akupun bisa menghadapinya, maksudku ulangan matematika. Seorang penulispun pasti akan belajar dari kesalahannyakan? Setidaknya itulah yang akan kutunjukkan padanya di atap hari ini.

Akupun bergegas pergi ke atap untuk memamerkan kehebatanku dalam mengalahkan dewanya ilmu pengetahuan, yaitu ‘matematika’.

“permisi!” aku membuka pintu atap dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi, mencoba menunjukkan betapa hebatnya aku hari ini.

“oh, zero! Aku sudah menunggumu, perutku sudah lapar!” bukannya apa, dia menyambutku dengan teriakan perutnya itu, bukankah itu diluar hal yang kuinginkan?

“iya-iya, ini kubawakan. Hari ini selainya selai madu.”

“mandom!” katanya dengan mata berbinar-binar.

Kalimat apa itu? lagi pula kenapa dia hanya tertarik dengan makanan yang satu ini sih? Semua hal tentangnya memang membuatku heran.

Di sebuah tikar miliknya sendiri, dia menghabiskan waktu dengan membolos pelajaran sambil guling-guling membaca buku di situ. Kurasa pelajaran biasa sudah tidak menarik di matanya. Kau paham? Bahkan masalah juglar saja dapat dia pecahkan.

Angin yang berhembus di atap ini memang sesuatu sekali, bahkan aku saja selalu merasakan sebuah kenikmatan tersendiri saat menikmatinya.

Dari beberapa tumpukan buku itu, dia menutup salah satu buku yang kebetulan sedang dia pegang. Dan buku itu nampak tidak terlalu asing di mataku.

“buku apa yang sedang kau baca?”

“oh ini? kau tahu, tragedy of hamlet.”

“sepertinya aku pernah membacanya dulu, walaupun aku agak lupa sih.” Sebuah kisah drama dari sebuah balas dendam, tragedy of hamlet. Kurasa aku pernah membacanya sih.

“aku menamatkan cerita ini saat kelas empat sd, ini cerita pertama yang aku sukai.” Katanya sambil dan mengelus-elus buku terjemahan itu.

“di luar kisahnya yang unik, kata-kata dan kutipannya memang sesuatu.” Kataku menunjukkan hal yang menarik perhatianku tentang buku itu.

“banyak lagi di langit dan di bumi, horatio yang belum kau ketahui. Inilah kalimat yang membuatku mempelajari segala hal, termasuk matematika itu sendiri.”

“lumayan mengerikan...maksudku ceritanya.”

“sesuatu yang mengerikan itu memanglah hal yang tidak bisa kau pahami. Entah itu reaksi dari penalaran atau sebuah kata-kata dalam ilmu sosial.”

“ya-ya, aku paham, untuk sekarang habiskan saja roti lapis edisi spesial ini.” kataku menyerahkan satu kantong penuh roti isi ini.

Aku sebenarnya tidak terlalu khawatir dengan isi dompet atau uang sakuku, orang tuaku selalu membagi hasil pekerjaan mereka denganku. Dan aku ini juga bukan tipe orang yang banyak makan, dan di tambah masih ada tabungan dari royalti novelku yang sebelumnya. Jadi membelikan satu kantung penuh roti isi setiap hari untuk marmoset kecil ini, aku tidak merasa keberatan.

Asal kau tahu saja, aku sekarang seperti mempunyai sebuah peliharaan.

“apakah kau mengatakan sesuatu barusan? Zero?”

“tidak! lagi pula kenapa kau beranggapan begitu?” tanyaku dengan terkejut, apakah dia membaca pikiranku.

“ekspresimu nampak menjijikan.” Dia mengatakan hal itu sambil menikmati roti isi dariku! Apakah dia tidak tahu arti kata berterima kasih?

Akupun duduk di sebelahnya...agak jauh. Dan memandang langit sambil duduk dan meopang tangan di balik badan. Dan kutatap sang langit biru yang cerah itu.

“ngomong-ngomong rengge. Ah, maksudku nona mesato, apa sih arti ilmu pengetahuan bagimu, terutama matematika itu sendiri?” aku selalu ingin menanyakan sesuatu dari sudut pandangnya yang lumayan unik itu.

“sudah kubilangkan.” Tatapnya dengan mulut yang oenuh roti. “banyak lagi di bumi dan di langit horatio, hal yang belum kau ketahui. Selama aku mengetahui banyak hal, maka dunia dan langitpun tak akan bisa membodohiku.”

“aku mulai heran, kau ini ingin menjadi matematikawan atau seorang penyair?”

“tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi, di dunia yang sudah lepas dari tampuknya ini.”

“lagi-lagi hamlet ya? Kau sangat suka baca novel?”

“bicara soal novel, ada sesuatu yang lebih menarik dari hamlet. Dan itu adalah buku ini.” dia menggantungkan rotinya di mulut, dan mencari satu buah buku dari tumpukan buku yang mengelilinginya.

Sebuah novelpun ditunjukkan padaku, covernya nampak menarik, dan bisa kita lihat kalau itu bukan novel ataupun kisah klasik seperti hamlet. Judulnya——3 panglima perang! Itu novelku!

“ahaha~, kau suka novel semacam itu ya?” aku mengalihkan pandangan.

Kalau dipikir-pikir nama penaku adalah ‘Zenozen.’ Mungkin karna dia sering memanggilku zero maka dia juga tidak menyadari kalau akulah penulis novel itu. Lagi pula di sekolah ini hanya segelintir orang yang tahu kalau aku adalah penulis novel.

“di awal volume buku ini, ada beberapa kata-kata hamlet yang dikutip. Dari situ kutahu kalau penulisnya punya selera yang cukup bagus.”

Aku tidak bisa bilang kalau aku hanya kebetulan pernah membaca dan mengutipnyakan? Ah sudahlah, lagi pula dia belum tahu kalau yang menulis novel itu adalah aku.

“oh, nampaknya keren ya? Maksudku novel itu.”

“walaupun awal ceritanya agak hambar. Tapi aku menyukainya.” Aku hanya tersenyum kecut melihat gadis kecil ini sangat antusias menjelaskan apa yang dia sukai.

“terutama kalimatnya ini. ‘the problem will not be a problem if you don’t feel make it. And, no one feel it.’ Sepetinya dia lebih pintar membuat kata-kata dari pada diriku.”

Untuk pujiannya, aku sangat berterima kasih. Rasa haru ini setelah dia terus-menerus menghinaku dan seolah aku tidak mempunyai hal yang bagus ini ingin membuatku menangis.

“aku sedikit terkejut, kau baca yang terjemahan bahasa inggris ya?”

“kau tahu zero, cenderung membosankan bagiku bila membaca sesuatu terlalu cepat. Jadi ini salah satu cara agar bacaannya tetap awet.” Cara membaca yang unik, membaca versi bahasa inggris agar terasa lebih lama saat membacanya ya? Aku memang tidak pernah tahu isi pikiran gadis kecil ini. “jadi zero, bagaimana hasil ulanganmu hari ini? jangan bilang kau gagal lagi.” ingatnya dengan sinis.

“hmm..” akupun mengambil kertas yang sudah kusembunyikan dari tadi. “soal ulangan itu—checkmat, aku sudah mengalahkannya.” Sebuah kertaspun kutunjukkan dengan sangat percaya diri. Inilah hasil terbaikku, pikirku dalam hati.

“...” tapi dia tidak berkomentar apa-apa.

“kenapa?”

“kau tahu zero...inilah yang namanya sebuah kepayahan di balik kepayahan lainnya.”

“maksudmu?”

“1 bulan aku mengajarimu!” dia berdiri dan mulai marah-marah. “tapi kau sudah puas hanya lulus dengan nilai 1 angka lebih tinggi dari kkm?!”

Aku sangat bingung, kenapa dia semarah itu sih, bukankah nilai 76 itu sudah bagus.

Dari mengharapkan sebuah pujian atas keberhasilan, diriku malah mendapat kemarahan lainnya. Ya, walaupun begitu, setidaknya aku tahu kalau kemampuan tulisanku dihargai. Positif-thinking.

·          

Bagian 3-2

Bercahaya, mata mesato rengge itu suka bercahaya. Saat dia marah, mata green diamondnya akan bercahaya agak kemerahan, mungkin saat sedih matanya akan memancarkan sinar kebiruan. Dan saat dia bersemangat, mata green diamondnyalah yang akan bercahaya.

“lagi-lagi kenapa kau menatapku dengan tatapan anehmu, dasar lolicon.” Setelah memarahiku, dia malah nampak ketakutan dengan memeluk badannya sendiri.

“aku bukan lolicon ataupun pedofil! Lagi pula umur kita sama, jangan pakai tinggi badanmu menjadi alasan untuk menyebutmu lebih muda dariku.” Apakah dia mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai seorang lolita?

“lalu kenapa kau menatapku seperti itu?” matanya green diamondnya mulai menunjukkan sebuah kecemasan.

“ya, warna matamu, kuakui sangat unik.”

Mendengar hal itu dia sedikit tersentak, entah karna merasa tersinggung atau tersipu. Sangat sulit membaca ekspresinya itu.

“hoho~kau memujinya? Maksudku warna mataku ini. padahal kukira warna mata yang hijau itu melambangkan sebuah kesialan.”

“kau terlalu banyak membaca novel penyihir barat itu.” keluhku dengan skeptis.

“huh~awalnya aku memang agak marah karna ini hasil terbaikmu setelah mendapat pelajaran dari nona mesato ini.” dia melambai-lambaikan kertas itu ke arahku. “tapi harus kukatan, kau sudah bekerja dengan keras. Jadi selamat zeno, akhirnya kau berhasil.”

Entah kenapa wajahku tersipu. “ka-ka-kau memanggilku zeno? Barusan?”

“diamlah bodoh! Memang kau suka dipanggil zero?” tanggapnya dengan pipi yang memerah.

“apa kau benar-benar jujur saat memujiku? Apakah ini bukan sebuah rekayasa?” seseorang! Cubit pipiku sekarang!

“tidak ada berkah ataupun warisan yang sangat berharga dan tulus, melainkan sebuah kejujuran. Bukankah itu yang ingin kau katakan?” Lagi-lagi dia menebak pemikiranku.

Mendapatkan sebuah pujian tulus dari orang serumit dia itu bagaikan mendapatkan coklat di hari valentine. Sangat menyenangkan dan serasa di hargai.

“nyatanya kau tahu lebih banyak tentang hamlet dari pada diriku.”

“karna saat kau memahami arti tragedi, kau akan sangat menghormati apa arti dari kebahagiaan.”

“yang kutahu itu bukan dari hamlet.”

“bodoh, itu kiasanku sendiri.”

Dia mengeluarkan senyumannya itu, di balik badan kecil seperti marmoset itu, dia ternyata menyimpan beberapa tingkah yang feminim. Kau tahu, senyumannya itu membuat hatiku bergetar. Senyuman dengan mata yang tertutup itu seperti memberikan semua arti ketulusan kepadaku, semua perasaan aneh itu mengalir kepadaku.

Diapun lalu berdiri, mendekat ke arah pagar pembatas atap dan melihat sekerumpulan siswa yang sedang berolahraga. Kulihat warna matanya mulai padam dan ekspresinya bergeser menjadi sedikit muram, apakah ini yang dinamakan merenung?

“kau tahu zeno, manusia itu merupakan makhluk sosial tertinggi di antara makhluk ciptaan tuhan. Semuanya hidup selaras dalam dunia sosial yang tenang bagaikan dataran air yang tenang pula. Tapi ada sebuah peristiwa dimana permukaan air itu tidak tenang.”

“kenapa kau tiba-tiba membahas hal itu?”

“ketika sebuah kerikil yang di sebut masalah jatuh pada permukaan air, maka bukan hanya satu tetes air saja yang mendapatkan dampaknya, melainkan semua yang ada di sekitarnyapun akan terkena akibat tersebut, itulah makhluk sosial. Kita tidak bisa hidup dan menghadapi segala sesuatu sendiri, melainkan harus mendapatkan sebuah ‘penopang’ dari orang lain.”

Diapun mengganti raut wajahnya menjadi sangat serius dan mulai menghadap padaku.

“zeno, dalam masalahmu aku sudah menjadi ‘penopang’ untukmu. Jadi sebagai timbal baliknya, suatu saat nanti, apapun itu, bila aku sedang dalam keadaan tidak bisa mengandalkan orang lain, maukah kau menghancurkan sifat egoisku ini dan menjadi ‘penopang’ untukku?”

Entah kenapa, tapi kata-katanya sangat dalam. Suaranya lirih, namun maknanya sangat keras. Di balik sebuah permintaan samar itu, mesato rengge nampak menunjukkan sebuah harapan yang kosong padaku. Memangnya apa yang bisa di harapkan dari orang sepertiku.

“apapun itu, aku pasti akan menolongmu. Ini tentang balas budikan?”

“bukan, ini bukan hanya sekedar rasa terima kasih. Tapi sesuatu yang lebih melekat seperti sebuah ‘ikatan’.”

“hamlet?” kataku memiringkan kepala karna tidak mengerti.

“bukan, dasar bodoh.”

“wanita memang banyak protes, menurutku.”

“itu baru hamlet!” dia membentakku. Dia nampak kesal, si marmoset kecil kita sedang marah.

“iya-iya, aku mengerti. Apapun itu, aku akan menjadi penopangmu di saat kau membutuhkan. Jadi sebagai jaminannya, apakah aku bisa setiap saat memintamu mengajariku?”

“tentu, dengan sangat senang hati akan kuajari padamu, semuanya horatio, hal yang belum kau pelajari dalam dunia yang kejam ini.”

“baik-baik. Jadi sekarang aku jadi horatio dan kau hamletnyakan?” Keluhku.

Semuanya terjadi begitu lancar, dia mengajariku, aku diajarinya, semuanya berjalan sesuai urutan waktunya. Proses itu benar-benar terbentuk. Sebuah hal yang dia namakan ikatan itu mulai ada diantara kami. Aku belum merasakan hal yang spesial darinya, tapi aku sudah menaruh kata menarik didalam benakku.

Ku kira dia hanya ingin aku berterima kasih kepadanya, kau tahu sendiri kalau dia memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Egoisentrisnya itu memang sesuatu, dia memakasa kehendak bahwa dialah yang bijak diantara kebanyakan orang di sekitarnya.

Seseorang yang bodoh berpikir bahwa dirinya bijaksana, sementara orang bijaksana berpikir bahwa dirinya itu bodoh.

Itu salah satu dari sekian banyak kutipan dari novel hamlet. Kalau kupikir-pikir lagi, dia yang nampak mengagungkan novel hamlet ini seperti tidak menghiraukan kalimat di atas.

Jadi, apakah sebenarnya dia itu bodoh?

·          

Sebenarnya akulah yang tidak memahami arti dibalik perkataannya itu, tidak mengerti arti dari senyumannya itu, tidak mengerti arti di balik semua perasaan hangat yang mengalir itu.

Dia menaruh harapan besar agar aku memahami isyarat-isyarat samar yang dia keluarkan, tapi aku nampak telah mengecewakannya. Aku terlalu pasif untuk memahami kata demi kata yang dia ucapkan padaku. Aku terlalu naif kalau aku berkata sudah mengerti tentang dirinya.

Dan sampai aku belum menyadarinyapun, kejadiannya sudah dimulai.

“rene! Tolong aku!” pintaku setelah berlari ke kelas dengan segera.

“ada apa zeno, aku sedang mengerjakan tugas ketua kelas nih.”

“mesato—, mesato rengge...tidak ada dimana-mana!” peluh keringat ini membuatku susah berkata-kata.

“...!” dia ikut tersentak.

Mesato rengge, sebenarnya apa yang ingin kau ungkapkan padaku? Sampai aku mengetahuinya sendiri, ceritanyapun masih berlanjut.

Ke sebuah cerita pencarian sosok yang hilang.

·          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

project [ ] bab 1

Prolog: Hampa. Hatiku serasa kosong. Ini peringatan kelima semenjak saat itu. Dan sudah lima tahun berlalu semenjak kejadian tersebut. Lima tahun yang lalu, aku menangis dengan terisak-isak. Menangis di depan sebuah foto di sebuah rumah, lebih jelasnya di sebuah rumah duka. Aku meratapi kehilangan itu dengan mendekam dalam tangisan. Karangan bunga duka menghiasi foto dengan sebuah senyuman tak berdosa tersebut. Mataku memanas, rasanya semua hal yang kulakukan selama ini sia-sia. Lalu tanpa kusadari, air mata mulai deras mengalir ke pipiku. Dan dengan perlahan mulai menetes ke lantai. Dipenuhi kesedihan, aura berkabung ini membuatku semakin mendekam dalam kesedihanku sendiri. Perasan menyesal dan hampa ini membuat dadaku sesak. Dadaku benar-benar sesak, nafaskupun tak beraturan sama sekali. Semua orang menangis dan bersedih, tapi air mata mereka semua hanya karna formalitas dan rasa kasihan semata. Akulah yang paling menderita dan tertekan, kar

7 Sniper wanita dari Dunia Anime

Sniper adalah penembak jitu yang mampu menghabisi target dari jarak jauh. Keren kan? Di dalam dunia anime sering ada karakter yang memiliki kemampuan hebat ini, mungkin sebagian besar pengemar anime sudah mengetahui Sinon dari SAO 2. Selain Sinon masih banyak lho Sniper lainnya, Silahkan baca daftar di bawah ini: 7 Sniper dari Dunia Anime Asada Shino/ Sinon dari Sword Art Online 2 Untuk menghilangkan trauma terhadap pistol, Asada Shino bermain game online Gun Gale Online. Di game ini dia memakai nickname Sinon, sniper berbakat dengan senjata andalan PGM Ultima Ratio Hecate II. Prestasi terbaiknya adalah menjadi pemenang bersama Kirito di Bullet of Bullet ke3. Di ALfheim Online, Shino mengunakan karakter Cait Sith pemanah, dia dapat mengenai target sejauh 200m hanya dengan panah yang diperuntukkan untuk jangkauan 100m.  Mey-Rin dari Black Buttler (Kuroshitsuji) Seorang pelayan dari keluarga Phantomhive, saat pertama kali melihatnya tampak Mey-Rin hanyalah pelayan bias