Bab 1: Rene suzuka tak bisa berkompromi.
Bagian 1-1
Sekolah, sebuah tempat belajar yang sangat
membosankan. Dipenuhi keseriusan dan sedikit hiburan yang ada di dalamnya.
Sebuah tempat yang akan membuat otakmu membeku dan kuapan dari kebosanan selalu
keluar dari mulutmu.
Yang paling berat dari sekolah adalah jam
terakhirnya, sebuah akhir pertarungan panjang untuk menggapai kemerdekaan
abadi. Sebuah pertarungan sulit melawan rasa kantuk dan bosan yang pada
akhirnya menunutun kita pada surga kebebasan, yaitu bel pulang sekolah.
Tapi, dari semua bos lantai yang ada, hanya
satulah yang selalu berhasil membuat semua orang bosan bahkan pusing tujuh keliling. Benar
sekali, itu adalah raja dari segala raja, itulah matematika. Sebuah pelajaran
yang menempati urutan pertama dalam survey remaja tentang pelajaran yang paling
mereka benci.
Kenapa belajar matematika itu sangat
membosankan? Itu sebuah pertanyaan konyol dengan jawaban sederhana. Itu karna
matematika berasal dari bahasa yunani “mathema,” yang artinya belajar. Belajar
matematika, Kalau kau menumpuk hal membosankan seperti belajar dengan kata
belajar lagi, maka rasa kebosanan yang kau dapatkanpun akhirnya berlipat ganda.
Bel pulang memang sudah berbunyi sejak tadi,
guru matematika yang terkenal galak itupun juga sudah pergi. Para siswa mulai
meminta diri pada hari yang membosankan ini, dan beberapa ada yang memutuskan
untuk tetap di sekolah.
Aku memang masih berada di sekolah, tapi bukan
karna ada urusan tertentu, melainkan tubuhku tidak mau bergerak dan otakku
rasanya memanas. Rasanya gir-gir yang ada di otakku ini mulai berteriak karna
suhu dan gerakan yang tak stabil seperti biasanya. Inikah sebutan “matematika
membunuhmu secara perlahan.”?
Rumus, angka dan simbol, itulah beberapa
susunan atom pembentuk zat beracun yang sangat berbahaya. Zat ini masuk kedalam
otakmu bukan melalui pernapasan atau sentuhan kulit. Melainkan penglihatan dan
pendengaran. Gejala yang ditimbulkanpun beragam, mulai dari sakit kepala,
migran, rasa mual yang berlebihan atau kaku otak seperti yang kualami. Bahkan
sampai sekarangpun para peneliti yang mengaku otak mereka pintar, belum bisa
menemukan obat manjur untuk mengobati penyakit yang satu ini. Intinya, ini
penyakit yang sangat berbahaya!
Dahiku masih tertempel di bangku dan pundakku
masih tak mau bergerak, mungkin orang-orang di sekitarku mulai melihat
sekumpulan asap yang keluar dari kepalaku. Efek samping yang sangat hebat dari
sebuah penyakit di balik penyakit. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karna aku
baru membahas hal yang lebih mengerikan dari pelajaran matematika itu sendiri,
yaitu ‘ulangan matematika dadakan.’
Satu jam yang lalu.
“baiklah anak-anak, sekarang kita akan
mengadakan tes dadakan.” Kata guru matematika bermuka galak dan berbadan tegap
tersebut.
“apa? Kenapa tidak ada pemberitahuan sama
sekali?” seorang siswa yang kaget nan pemberanipun mulai memprotes keputusan
sang guru yang kekar bagaikan iron man.
“memang tidak ada pemberitahuan, namanya juga
tes dadakan.” Sambar guru tersebut dengan apatis. Sebuah keapatisan yang
membuat kami berada di jurang kesengsaraan.
Saat ada seorang murid lagi yang ingin
memprotes, guru tegap inipun dengan cepat menyipitkan pandangan dan memasang wajah tak bersahabatnya. Membuat
murid yang ingin protes tadi menerima tekanan batin yang begitu kuat. Pada
akhirnya dia kembali duduk dengan lemas. Dan neraka panjang itupun di mulai.
Lalu Sebuah tepukan di punggungpun
membangunkanku dari ingatan satu jam yang lalu. Dengan wajah ceria yang sangat
menghangatkanku itu dia melirik tersenyum. Membangkitkanku dari kebekuaan dan
membuat hari yang panaspun menjadi sejuk.
“bangunlah tukang tidur—“ katanya sambil
menggoyang-goyangkan bahuku. Wajahnya masih seceria sang mentari setelah
melewati jam neraka, apakah dia itu dewa?
“iya-iya aku bangun!” kataku sedikit jengkel
karna bahuku terusik. Tapi dia hanya menahan tawanya yang ceria ketika melihat
ekspresi mengantuk milikku.
Suzuka Rene, ketua kelas sekaligus teman
dekatku. Kami sudah berteman sejak kelas satu. Dan sampai kelas dua ini dia
masih menjabat sebagai ketua kelas. Wajah cerianya itu membuatnya disukai
banyak orang, sangat berbanding terbalik dengan tatapan membosankan milikku
ini.
Kami sudah kenal lama, dan kami juga sudah
sering pulang bersama. kebetulan rumahku searah dengan toko buku tempatnya
bekerja, itulah salah satu alasan yang mendasari kebarengan ini, jadi tolong
jangan harapkan sebuah alasan romantis untuk hal ini.
Berjalan
dengannya itu bisa dibilang sangat membosankan, dia membicarakan banyak topik
dan bahkan bisa berganti topik dalam 20 detik setelah pembicaraan! Bayangkan saja
hal itu. Tapi entah kenapa, dari semua orang yang berteman denganku, perasaan
nyaman dalam ‘friend zone’ ini hanya akan terasa saat dia bersamaku. Sebuah
perasaan yang sukar dijelaskan.
“aku sudah membacanya loh. Novelmu—“ dia
membentur-benturkan sebuah buku padaku sambil terus berjalan. Buku tersebut
adalah novel “3 panglima perang.” Judul novel buatanku. Wajahkupun mulai
tersipu saat mengetahui dia membaca karya milikku sendiri.
“ah, kuharap kau tidak kecewa dengan
ceritanya.” Aku bilang begitu karna itu novel bertema militer, tentunya genre
ini tidak cocok untuk gadis smp sepertinya.
“tidak-tidak. novel ini bagus kok! Beneran.”
Katanya seolah-olah mencoba tetap menjaga perasaanku. Kuakui dia sangat pintar
melakukan hal itu.
Wajah bosanku inipun mulai semakin merona dan
memerah saat mendengarnya. Tapi aku tahu kalau dia hanya menjaga perasaanku,
jadi akupun mulai bertanya padanya. “memang bagian mananya yang bagus?” kataku
mencoba menyakinkan diriku sendiri kalau orang ini benar-benar membacanya.
Diapun merespon dengan cepat sambil membuka
beberapa lembar buku itu. Setelah menemukan halaman yang dia cari, diapun mulai
menjelaskan bagian halaman tersebut.
“ini, ini tokoh favoritku. Si gadis pengantar
pesan yang ceria, dia nampak seperti karakter yang selalu disukai banyak orang.
Namanya sizuka lene, eh? Nampaknya aku pernah mendengar nama itu di suatu
tempat?” katanya dengan nampak sedikit bingung. Akupun dengan cepat memalingkan
mukaku saat dia membahas tentang nama dan karakter yang persis seperti dirinya.
“haha~, begitu ya?” kataku mencoba mengalihkan
pembicaraan. Wajah cerianyapun hanya merespon bingung padaku.
“tapi syukurlah.” Katanya sambil menutup
novelnya. “syukurlah kau nampak ceria kembali. Soalnya wajahmu tadi mirip
zombie loh.” Lanjutnya menahan tawa.
“kelihatannya aku menderita dyscalculia. Jadi
wajahku akan seperti zombie setiap pelajaran matematika.” Kataku menjelaskan
keadaan.
“dyscalculia?” katanya seperti tak percaya.
“seperti biasanya kau berlebihan terhadap sesuatu, dasar Zeno.” Lagi-lagi
ekspresi bahagia itu selalu memenuhi wajah cantiknya. Setidaknya aku akan rela
tidak bahagaia selama aku bisa melihatnya tetap tersenyum seperti itu.
“bagi peringkat satu sepertimu memang biasa,
tapi bagiku itu bukanlah hal biasa.” Aku sedikit memberikan pujian terhadapnya,
karna selain meraih juara kelas, dia juga mendapatkan peringkat 10 besar di
angkatan kami.
“ya, walaupun aku disalip Hasekiri dari kelas
f sih.” Katanya muram sambil memain-mainkan rambutnya.
“ayolah, Hasekiri itu seorang study holic. Dia
belajar 8 jam sehari, sementara dirimu masih harus bekerja.” Aku bilang begitu
karna aku cukup kenal dengan Hasekiri Arata dari kelas f. “setidaknya
bersyukurlah dengan apa yang kau punya, bukan apa yang orang lain punya.” Kataku
memberikan semangat.
Mendengar hal itu, bukannya apa tapi dia malah
memasang pandangan menyinggung padaku.”wajah bosanmu itu tidak cocok dengan
kata-katamu.” Katanya kembali ceria.
Gadis ceria ini memang aneh, dia berjalan
seolah memimpin pasukan di depan. Dia berjalan dua langkah memimpinku di depan.
Tapi kusadari dia melirikku setiap lima langkah, lima langkah berikutnya dia
nampak seperti melirik ekspresiku, delapan langkah berikutnyapun dia kembali
melirikku ke belakang untuk memastikan aku masih mengikutinya atau tidak. kalau
kau ragu-ragu, maka berjalanlah di sampingku! Protesku heran sambil melihat
tingkah lucunya itu.
Walaupun terasa singkat, kamipun sampai di
toko buku tempat Rene bekerja. Toko buku ‘cherry blosom’. Sebuah nama yang tak
lazim bagi toko buku, bukankah itu lebih cocok digunakan untuk nama caffe? Itu
yang orang lain pasti pikirkan tentang toko buku ini. Tapi sebenarnya toko ini
juga mempunyai kedai kopi di dalamnya, hanya saja kesan toko bukunya lebih di
tekankan dari pada kesan caffenya.
Aku sering pergi ke sini, menikmati secangkir
kopi sambil membaca buku, atau malah membelinya. Tapi sebenarnya aku memiliki
misi penting saat ke sini. Yaitu ‘marketing’. Aku biasanya memantau penjualan
bukuku sendiri di sini. Entah itu laku atau tidak, di letakkan di tempat
recommend atau tidak. dan banyak hal lainnya.
Sementara aku melihat-lihat buku, Suzuka Renepun
segera bergegas ke belakang untuk memakai celemek berwarna hijau tua yang
memiliki logo dan nama toko buku ini. Celemek kerja warna hijau tuanya itu
nampak sangat pas bila berpadu dengan seragam smp milik kami. Kurasa selera
pemilik toko ini cukup bagus.
Tak terasa aku melayangkan sebuah jempol kepada
seorang kakek tua penjaga kasir yang sebenarnya juga pemilik toko ini. Dia yang
menyadarinya seperti mengerti isi pikiranku dan mulai mengacungkan jempolnya
juga, sebuah good comunication!
Melupakan komunikasi antar kami berdua, akupun
mulai berkeliling untuk melihat-lihat kalau saja ada buku yang bisa kujadikan
referensi buat ceritaku. Rak-rak buku yang berjejer dengan rapi, ratusan buku
yang berjejer dengan warna-warna yang berbeda itu nampak memberikan warna
tersendiri pada rak bukunya. Harusnya dunia ini menciptakan sebuah seni baru
yang di sebut ‘seni menyusun buku di rak’. Dan penggagasnya adalah aku sendiri,
Zeno Yahya.
Berjalan melewati beberapa rak raksasa itu,
akupun sampai pada sebuah rak yang sangat penting untukku, yaitu rak berisi
kumpulan novel remaja. Inilah medan perangku! Teriakku dalam hati.
Tapi yang membuatku mulai kaget dan
berkeringat adalah novelku sendiri, diamana novelku? Aku mencarinya
dimana-mana. Apakah novelku sangat laris? Tidak mungkin selaris itu, walaupun
tak percaya diri, namun itu memang kenyataannya. Tapi kalau di bagian recommend
tidak ada, di hot of week juga tidak ada, itu berarti——.
Akupun dengan cepat melirik ke arah rak tempat
susunan buku tempat novel biasa yang tidak temasuk kategori diatas berjejer.
Dan kulihat novelku berada di sana! Dengan segera otakku memikirkan teknik
marketing paling terkenal, mumpung toko bukunya juga sedang sepi, akupun
memindahkan bukuku ke tempat recommend dan hot of week. Setelah semua berhasil
kupindahkan, aku hanya tersenyum gembira dan mulai mengusap keringat di dahiku
dengan bergairah.
Lalu sebuah gagang dari sapupun membentur
cukup keras kearahku, kulihat sang pemukul sedang memakai ekspresi ngambeknya
yang bahkan cenderung ke arah marah. “apa yang sedang kau lakukan Zeno?”
tanyanya dengan kesal.
“ketahuan ya?” aku menyerah pasrah. “tapi
tolong Rene! Tolong kembalikan novelku ke tempat recomend dan hot of week lagi!
demi penjualan dan kehidupanku.” Tanpa basa-basi aku memohon diikuti kedua
telapak tangan yang tertempel, membentuk sebuah pose sempurna dalam seni
memohon.
Diapun tersenyum. Akupun membalasnya dengan
tatapan berharap. “nggak boleh.” Sebuah jawaban yang tidak sama dengan ekspresi
yang dia keluarkan, itu membunuh rasa kepercayaanku padanya, aku shock!
“dengar ya, Zeno.” Dia melipat tangannya dan
mulai menjelaskan. “aku hanya akan meletakkan sesuatu di sana bila itu memang
pantas di sana.” Katanya dengan alis yang menunjukkan kekesalan.
“berarti karyaku tidak pantas di sana~”
keluhku sambil merengut dan kelihatan ingin menangis. Bila menyangkut karyaku,
nampaknya aku mendapatkan beberapa tekanan batin yang cukup hebat.
“bu-bukan begitu maksudku.” Dia mulai panik
karna salah mengambil kata. “maksudku itu karyamu memang bagus, tapi liza yuu
kembali menggeser bukumu.” Katanya mencoba memulihkan sakit batinku ini.
Akupun mulai siuman dari shockku, tapi aku
kembali melihat karya seorang pesaing yang telah menggeserku tersebut, yaitu
liza yuu. Buku tema misterynya itu nampak menggeser buku perangku. Membuatku
memperhatikan buku miliknya itu.
“liza yuu ya? Bukankah dia itu kakak kelas
kita?” tanyaku pada kepada penjaga toko dengan celemeknya yang manis itu.
“ya, kiza kyoku, aku juga pernah mendengar
tentangnya. Dan harus kuakui, novelnya sangat bagus loh.” Dia menjelaskan
sambil memegang buku berjudul ‘monochrome problem’ milik liza yuu yang memiliki
logo best seller. Membuatku gigit jari karna iri.
“maafkan aku.” Aku meminta maaf setelah
menyadari perbuatanku ini memang tidak baik. “dan tolong! Tolong buku ini di
bungkus. Aku akan membacanya.” Kataku sambil mengambil buku karya penulis
terkenal itu.
Dan Suzuka Renepun tersenyum manis padaku.
“dengan senang hati, tuan pelanggan.” Kata-kata manisnya itu menghipnotis semua
orany yang mendengarnya. Pantas saja banyak pengunjung yang menyukainya.
Pilihan bijak! Kakek tua penjaga kasir! Teriakku dalam hati sambil mengacungkan
jempolku ke arah kasir.
Dan kembali, kakek tua tersebut tersenyum
semangat dan membalas jempolnya padaku.
·
Bagian 1-2
Sampai di rumah, aku langsung melepas
sepatuku, melempar tasku ke pojok kamar dan mulai melakukan loncat indah ke
kasurku. Ini masih jam lima sore, jadi aku bisa istirahat sebentar sebelum
lanjut menuliskan naskahku.
Bu iRene, editorku, menyuruhku setidaknya
mengirim beberapa lembar draf lanjutan naskah ‘3 panglima perang’ milikku.
Kuakui novel karyaku ini cukup terkenal karna sudah mencapai volume 3. Sebuah
novel yang bercerita tentang 3 panglima perang muda yang bercita-cita
mengembalikan kejayaan kerajaan dengan melawan beberapa negara musuh. Novel militer
dengan beberapa permainan politik dan drama di dalamnya, itulah yang sedikit
bisa kugambarkan tentang karyaku.
Karyaku yang telah meluncur satu tahun lalu
ini memang adalah karya terhebat seorang Zeno Yahya diantara banyak karya
sampah miliknya. Dan aku juga harus berterima kasih karna bu iRene sangat
membantuku dalam pengerjaan novel ini.
Novelku ini memiliki sebuah singkatan. Dimana
kita bisa menulis judulnya dengan mengganti kalimat tiga panglima menjadi
sebuah simbol matematika 3 pangkat 5. Yang memikirkan ide itu juga bu iRene.
Kukira awalnya itu hanyalah sebuah lawakan atau hinaan halus belaka, tapi
ternyata para pembaca juga menyukainya. Dan akhirnya kami menggunakannya dalam
judul volume dua dan tiganya.
Cangkir kopi siap, meja siap, notebook siap,
kipas angin siap! Semua persiapan sempurna ini kugunakan untuk mengawal
jalannya proses pembuatan cerita. Meja kerjaku tentunya ada di kamarku sendiri,
dengan kipas angin di sampingku, aku bisa merasakan angin sepoi-sepoi itu mulai
menabrakkan dirinya secara halus padaku.
Semua memang sudah siap, aku menghidupkan
notebookku dan dengan sigap menepatkan jariku di keyboard. Tapi setelah
itu———jariku membeku. Aku bingung ingin menulis apa! Inspiration! Aku butuh
inspiration! Teriakku sambil menggaruk-garuk kepala.
Hal ini memang sudah sering terjadi, sebuah
hal yang biasa bagi penulis. Kami menyebutnya ‘tenggangg imanjinasi.” Diamana
imajinasi kami belum bisa membuat apapun untuk kemajuan cerita dikarenakan
kurangnya inspirasi.
Hal ini sering sekali dan menjadi penyakit
rentan bagi kami para penulis lepas. Kami memang tak terikat dengan pihak
manapun, tapi kalau sudah membicarakan novel berseri, maka keterikatan kamipun
terjalin dengan kontrak kerja sama.
Apa yang harus kutulis? Sebuah konflik baru?
Adu domba? Kudeta kembali? Atau seorang karakter baru yang tiba-tiba muncul?
Semua tanda tanya itu seakan mengolo-olok diriku dengan menari samba di
kepalaku.
Baiklah! Mode tulisan super ngawurku, switch
on!
Ini adalah teknik rahasia milikku, MTSN.
Dengan teknik ini, aku bisa membuat kemajuan beberapa halaman pada novelku.
Tapi efek sampingnya terkadang ceritaku malah jadi tidak nyambung dan hambar,
atau bahkan berubah menjadi sebuah plot novel baru! Kemampuan yang kuanggap
cukup mengerikan.
Sepuluh menit kemudian aku menyelesaikan mode
berserk milik penulis ini. Aku mendapatkan kemajuan tidak masuk akal sebanyak
tujuh halaman, kuharap tulisanku kali ini agak mengalami kemajuan.
Coba..coba kulihat, selena sedang berjalan di
tepi sungai di saat senja.—kurasa ini berjalan cukup baik, tokoh utamaku sedang
menikmati keindahan pematang sungai ya? Pikirku.
Di
hiasi langit jingga dan teriakan anak-anak kecil yang bermain di sepanjang
pematang, mata selena yang sedang santai tiba-tiba tertuju pada sebuah gumpalan
gelembung di tengah sungai. Lalu seekor hiu raksasapun muncul, nyawa anak-anak
itu sedang dalam bahaya.—wah, monsternya muncul! Teriakku terkejut dengan
cerita buatanku sendiri.
Saat
selena ingin mengambil pedang dari sarungnya, dia hanya terkaget dan melongo
mengetahui kalau pedangnya tidak ada. Saat kebingungang karna nyawa para
anak-anak itu sedang terancam, tiba-tiba kakek selena muncul sebagai penyelamat
dengan memegang pancing kayu andalannya.—kakeknya nongol! Teriakku semakin
menggila.
Dengan ketenangan seorang veteran, sang kakek
melakukan ancang-ancang dan melemparkan kail pancingnya ke arah sang hiu
raksasa. Tapi sayangnya pancingan sang kakek ikut terlempar ke mulut sang
hiu.—apa yang kau lakukan kek! Seriuslah! Berjuanglah kek!
Kakekpun nampaknya masih menyiapkan pancing
keduanya, selena yang sudah menyerah tentang pedangnyapun semakin termelongo
dengan sang kakek. Itu karna sang kakek masih sibuk memasang cacing ke kailnya
dengan hati-hati, dia memasukkannya seperti sedang memasukkan benang ke peniti.
Dan akhirnya sang hiu memakan sang kakek. Tamat.
“apa-apaan naskah ini! Gak nyambung!” teriakku
kembali menggaruk-garuk kepala. “persetan dengan kakeknya selena! Lagi pula
kenapa pedang pusakanya hilang! Sejak kapan juga hiu muncul di sungai?” aku
mulai marah sambil memegang laptopku ini.
Akupun bangkit dari kursiku dan menjatuhkan
diri ke kasur. Kemalasan ini memang sudah seringkali terjadi dalam proses
menulis, bahkan bukannya sering, malah memang seperti bumbu pelengkap si setiap
kesempatan menulis.
Apakah sebaiknya aku mandi dulu saja? Pikirku
memikirkan hal-hal yang bisa menyegarkan kepalaku. Kalau bicara soal inspirasi,
maka aku punya tiga cara untuk mendapatkan inspirasi. Yang pertama adalah
merenung, yang kedua adalah membaca karya orang lain dan yang ketiga ya
mendengarkan sebuah lagu.
Mandi itu memberikan sebuah penyegaran alami
ke dalam tubuh yang lelah, walaupun aku ini laki-laki, tapi kalau ada yang
namanya lomba mandi, maka aku akan jadi juaranya.
Sesudah berganti baju, sambil mengusap-usap
rambutku dengan handuk, aku kebetulan melirik kantong plastik di mejaku. Sebuah
kantong putih bertulis ‘cherry blosom’ mengingatkanku kalau diriku tadi baru
saja membeli buku.
Akupun duduk dikursiku, meletakkan handuk
begitu saja di kepalaku dan mulai membuka buku baruku itu.
Semakin aku membaca semakin aku mengetahui dan
semakin aku tenggelam ke dalam ceritanya. Sebuah cerita yang penuh misteri dan
berbalut komedi, nampaknya itu gaya penulisan milik liza yuu. Cukup unik.
Kemampuan tulisannya itu sangat hebat. Harus
kuakui kalau aku masih sepuluh level di belakangnya. Padahal kalau
dilihat-lihat, waktu dia memulai menulis
novel juga tak berbeda jauh dariku. Apakah itu yang di sebut dengan berbakat?
Semakin penasaran, aku mencoba menjelajah
googol dan mencari namanya di raiterpedia. Dan kulihat profil penulisnya yang
tidak main-main. Dia bukanlah penulis lepas lagi, dia itu penulis lepas yang
pro.
Kapan aku bisa menjadi seperti itu? Pertanyaan
itu mengganjal otakku. Ku yakin hari itu akan datang, tapi kapan? Huh.
Seharusnya dengan membaca aku bisa melihat
hal-hal dan konten bagus sehingga aku bisa mendapatkan semangat atau inspirasi
untuk penulis. Tapi nampaknya aku malah larut dalam cerita novel itu. Mataku
mengikuti pergerakan baris dan pikiranku mulai berimajinai tanpa batas.
Waktu, tempat dan semuanya dalam novel ini
bagaikan divisualisakan dengan jelas di depanku, inilah salah satu kenikmatan
menjadi pembaca, kau yang memiliki imajinasi tinggi bisa memvisualisasikan
jalan cerita lebih jelas dari proyektor.
Efek samping dari membaca karya yang bagus itu
adalah ‘kelepasan’ membaca dan lupa waktu. Waktu yang berlalupun seakan
dipercepat setelah kau selesai membaca, hobi ini memang sangat unik.
Dari jam enam, akupun membaca buku ini sampai
selesai. Sebuah prestasi yang bagus untuk mengisi waktu mengaggurku. Akupun
menutup novel ini dan mulai mendesah. “hah~, karya yang sangat bagus!”
Tak terasa yang membuat kepala kering sudah
jatuh ke lantai dari tadi. Badan yang sepenuhnya basah sudah kering sempurna
saat aku menyadarinya. Akupun mengambil handuk tersebut dan meletakkannya di
punggung kursiku. Aku berjalan ke kamar mandi dan menggosok gigi.
Kulihat wajah membosankan yang sedang
mengantuk di cermin itu sedang menggerak-gerakan sikat giginya tanpa semangat
yang jelas. Akupun berkumur. Dan membuka bibirku dan melihat apakah semua
gigiku sudah bersih dengan sempurna. “hii~~~.”
Kedua orang tuaku sering keluar kota untuk
bekerja, jadi mematikan semua lampu menjadi tugas terakhirku sebelum tidur. Aku
menikmati acara mematikan lampu ini seperti memencet beberapa tombol rahasia
sebelum membuka pintu tersembunyi. Dan yap, pintu tersembunyi tersebut adalah
kamarku sendiri.
Mematikan lampu kamarku dan mengubahnya
menjadi lampu tidur, akupun berbaring santai ke arah langit-langit sambil
menatapnya dengan tatapan kosong. Entah kenapa aku mulai mengingat kejadian
beberapa hari lalu. Lebih tepatnya saat aku pulang dari kantor penerbit.
Seorang gadis kecil bermantel biru yang sedang
menangis di tengah hujan. Sambil menatap tingginya pohon di tengah taman,
rabun-rabun kulihat air mata mulai mengalir di pipi kecilnya bercampur dengan
air hujan.
Sambil memegangi dada kiriku, aku mulai
mendaparkan perasaan hangat waktu itu. Sebenarnya rasa apa yang kurasakan ini?
Lagi pula yang membuatku penasaran itu tentang identitas gadis tersebut.
Kuyakin dia adalah murid smp barat, karna kulihat dengan samar-samar seragam
smpku di balik mantel birunya itu.
Memikirkannya, mataku dengan perlahan mulai
tertutup dan lemas. Kurasa aku mulai mengantuk. Diikuti pandanganku yang mulai
memburam, akupun akhirnya mulai tertidur.
Namun, ketika sampai di titik antara tertidur
atau tidak, mataku dengan tiba-tiba terbuka selebar lebarnya dan badanku mulai
terduduk di kasur. Draft novel! Aku melupakan draft novelku!
Jadi, walaupun mengantuk. Aku akhirnya tetap
melanjutkan menulis kemajuan novel milikku, yang kutahu bu irene akan sangat
marah bila draftnya belum jadi.
Ah sial!
·
“zeno yahya, nilai matematikamu jelek sekali!”
sambar seorang guru berpostur tegap setelah jam pelajaran usai. Dia marah-marah
sambil memamerkan kertas ulanganku pada diriku sendiri, sebuah kertas ulangan
dengan coretan pulpen merah bertuliskan 47.
Aku, dengan mata mengantuk karna begadang,
hanya terdiam lesu menikmati ocehan si iron man. Kurasa aku berhasil
menyelesaikan satu draft naskah, walaupun itu harus mengorbankan hampir seluruh
waktu tidurku.
“zeno, apakah kau mendengarkan bapak!” wajah
iron man ini nampak makin kesal.
“iya pak, kurang lebih.” Jawabku singkat
diikuti kuapan panjang. Kurasa guru ini mulai sedikit bingung harus marah atau
prihatin dengan rasa kantukku ini.
Kulihat semua murid dengan santai mulai
meninggalkan ruang kelas untuk beristirahat, sementara aku harus menikmati
siraman kolbu dari seorang pria berbadan besar nan tegap ini, sungguh sial.
Tapi yang membuatku senang, sayu kulihat masih
ada orang yang menungguku di pintu sana. Dengan senyuman hangatnya dia hanya
menahan tawa melihat diriku dimarahi oleh orang besar ini, walaupun jengkel
namun aku sangat senang di buatnya. Benar sekali, suzuka rene sedang menungguku
dengan sabar.
“pokoknya zeno.” Kata si iron man. “kau harus
merubah angka 47 ini menjadi angka di atas 75.” Sambarnya dengan keras, nada
bicaranya memang seperti seorang pendemo, lantang dan keras.
“tinggal di hapus saja, bolehkan pak?” tawarku
kepadanya. Tentunya aku memakai muka bodohku untuk mencoba mencairkan suasana
yang tegang ini, sebuah tindakan yang cukup berani.
“kalau kau melakukan hal itu, senyum di
wajahmu itu yang akan bapak hapus.” Katanya mengancam. Dia sangat mengerikan!
Iron man sangat menakutkan!
“setidaknya zeno.” Dia menghela nafas. “bapak
punya satu solusi untukmu.”
“solusi?” aku memiringkan kepala.
“di atap sekolah kita ini, selalu ada satu
siswa yang menyendiri di sana.” Wajah marah iron manpun mulai berubah menjadi
sedikit serius. “dia anak seangkatanmu yang cukup ahli dalam matematika.
Kusarankan kau meminta dia mengajarimu.” Katanya dengan nada menasehati.
“memangnya si siswa ‘penyendiri’ itu mau
mengajari orang asing?” kataku dengan sedikit sinis.
“memang dia tidak mau mengajari orang, tapi
bapak punya jurus ampuh. Sini bapak bisikkan.” Iron manpun menyuruhku mendekatkan telinga padanya.
Dan dia membisikkan sesuatu yang cukup
mengejutkan.
·
“terima kasih sudah mau menungguku.” Aku
berterima kasih pada suzuka rene yang sedari tadi menungguku di pintu kelas.
“sudahlah, lagi pula melihat orang dimarahi
itu sebuah hal yang menyenangkan.” Katanya nampak bersyukur telah menungguku.
“inikah yang di sebut tertawa di atas penderitaan orang lain?”
“aku sekarang bingung antara harus berterima
kasih atau kesal padamu.” Tatapku bingung menanggapi candaannya.
“bercanda-bercanda, bukanlah itu tugas seorang
teman? Mau susah ataupun senang, terus bersamakan?” dia berbicara dengan wajah
manisnya disertai tatapan lugu dan gaya yang canggung. RMK! Rene-san Maji
Kawai!— Rene benar-benar menggemaskan!
“aku benar-benar berterima kasih, kau teman
terbaikku rene.” Aku memasang wajah terharuku padanya. Diapun mulai tersenyum
geli melihatku.
Di kala langit jam istirahat agak mendung, Sambil
melihati siswa yang berolah raga, kami berjalan berdua menuju kantin sekolah
yang berada di gedung berbeda dengan gedung kelas kami.
Kami berjalan di pinggir lapangan olahraga
yang sangat luas ini. Sambil terus berjalan, kulihat gadis sebayaku ini melihat
dengan sangat antusias ke arah para olahragawan muda itu. Kulihat lagi wajah
cantik dibalut keingintahuan yang tinggi itu terpampang jelas di wajahnya.
“oh iya zeno, soal hal yang kau bicarakan
dengan guru tadi—.”
“maksudmu si iron man? Dia hanya menyarankanku
untuk meminta ajaran pada seseorang yang misterius.”
“misterius?” katanya sambil memiringkan
kepala.
“katanya dia seorang siswa penunggu atap.”
“penunggu atap? Kurasa aku cukup merinding
sekarang.” Katanya sambil memegangi tubuhnya sendiri.
“dia hanya murid biasa kok.” Aku
menyakinkannya walaupun aku belum tahu tentang orang yang di maksud.
“huh~,seharusnya si iron man itu memintaku
saja—”
“apakah kau mengatakan sesuatu?” tatapku
bingung melihat gadis di sampingku bergumam sendiri.
“haha..tidak-tidak. itu loh! Cuacanya cerah
ya?” entah kenapa wajahnya mulai memerah semerah tomat.
“padahal hari ini agak mendung loh.” Tatapku
ke awan comolonimbus yang memenuhi langit.
“sudahlah! Kau akan makan di kelaskan? Ayo
segera beli makanannya dan kembali ke kelas!” entah kenapa dia sekarang mulai
membentakku dengan nada yang sangat lucu.
“maaf rene!” aku meminta maaf. “tapi aku ada
urusan kali ini, tunggu aku di kelas ya? Makan saja dulu, aku akan menyusul
kok!” diriku menyakinkannya. Karna hampir setiap hari kami makan bersama di
kelas.
“hmm..memang terjadi sesuatu?” dia nampak
prihatin dan khawatir.
“tidak-tidak. itu loh, soal orang misterius
yang di atas. Aku mulai penasaran dan ingin bertemu dan segera meminta dia
mengajariku. Si iron man mengancamku bila aku tidak melakukannya, maka dia
akan—...”aku mulai membayangkan hal yang mengerikan.
Diapun dengan penuh perasaan menepuk pundakku
berkali-kali. “aku tahu itu zeno, tak usah kau ucapkan. Jadi berusahalah selama
aku menikmati penderitaanmu.” Diakhiri dengan sebuah senyuman, dia
meninggalkanku sendiri di pinggir lapangan. Membuatku kembali berpikir apakah
dia menyemangatiku atau malah menikmati penderitaanku? Oh tuhan.
Tapi aku mulai meninggalkan rasa penasaranku
itu dan menatap ke arah atap gedung utama. kalau saja aku bisa melihat murid
penyendiri itu, pikirku. Ya tunggu saja, aku akan segera menyelesaikan urusan
ini dan mendapatkan nilai yang memuaskan untuk membungkam si iron man
menyebalkan itu.
*tang~* suara dentangan dari pemukul kasti
mulai mendetang dengan keras sekeras pukulan yang di keluarkan si pemukul.
Kulihat teriakan semangat itu menyambut munculnya lambungan bola yang membelah
langit mendung kala itu. Tapi di tengah teriakan itu aku mendengar sebuah
kalimat yang tidak cocok dengan kata ‘penyemangat’.
“awas kepala!” suara itu bergema dan meruncing
masuk ke telingaku. Akupun mulai melihat ke arah lapangan yang luas tersebut,
dan kulihat sebuah bola kecil berwarna hijau stabilo mulai datang ke arahku
dengan kecepatan yang tidak bisa kuikuti.
Beberapa detik kemudian aku tersadar bahwa
teriakan semangat tidak wajar tadi di arahkan kepadaku..sial, nampaknya
kepalaku terkena headshot sempurna dari sebuah pukulan home run. Sekali lagi,
memang sial!
·
Saat berada di tangga.
Sialnya hariku, aku mengeluh sembari
mengelus-elus kepalaku yang terkena peluru kecil berbentuk bulat pepat itu. Akupun mulai
mengerti kenapa para penangkap di permaianan baseball memakai helm pelindung.
Aku bukan siswa MVP seperti mereka, yang ahli
dan jenius di olahraga, tapi bisa dibilang aku sangat hebat dalam tenis meja.
Bahkan kakek di sebelah rumah itu selalu mengakui kekalahan telaknya padaku
setiap kali kami bermain, bukankah aku cukup atletis?
Lupakan hal itu, aku hanya sedikit ragu saat
melangkahkan kakiku menuju atap sekolah. Kalau mendengar kata menyendiri,
bukankah yang terlintas di pikiran kita itu seorang laki-laki yang di kucilkan,
memiliki pandangan suram dan suka kegelapan? Tapi kenapa atap? Aku mulai
berpikir, dan tak terasa aku sampai ke pintu atap sekolah.
Pintu itupun menghubungkan ruang dalam dan
atap sekolah, akupun menarik air liurku sebelum membuka, berharap tidak
menerima kesialan lainnya karna harus bertemu dengan seseorang yang aneh di
sini. Ya tuhan, kabulkan doa orang yang selalu sial ini..kataku sambil
berharap.
Akupun membuka pintu itu dengan perlahan namun
pasti. Sinar matahari yang menembus awan comolonimbuspun menusuk kedalam
menghiasi decitan pintu tua ini. Ah silaunya.
Kulihat di di sana hamparan luas atap sekolah
yang kosong...tidak ada orang di sini. Apakah iron man sedang mempermainkanku?
Tidak-tidak, tidak mungkin orang yang tidak punya selera humor sepertinya
mempermainkanku sampai segininya.
Dengan tatapan bingung, aku berjalan ke atap
itu. Sayu-sayu kurasakan angin dingin mulai menusukku dengan lembut. Karna
tidak ada apa-apa, akupun berjalan menuju pinggiran pagar pembatas, rasa
penasaran akan pemandangan yang di sajikan di atappun menuntun rasa penasaranku
untuk muncul di permukaan.
Dan kulihat pemandangan seperti papan monopoli
raksasa. Dimana bangunan pavilliun itu seperti hotel dan rumah, lapangan
bagaikan petak-petaknya dan bisa kulihat banyak pemain yang sedang berkeliaran
di dalamnya. Kurasa aku cukup terkagum dengan pemandangan dari atap ini.
Saat aku menikmati ini dengan wajah terkagum,
tak kusadari sudah ada seseorang di belakangku, dengan pandangan sinisnya dia
nampak tak suka dengan keberadaan orang asing di daerahnya.
“kau, siapa kau?” nada bertanya itu menusuk
punggungku dan membuatku memutar badan dengan cepat. Tapi yang kulihat, suara
menusuk itu adalah milik seorang gadis pendek dengan rambut hitam panjang lurus
kebelakang, dia punya perawakan pendek dengan mata hijau diamond yang memiliki
pandangan tajam. Baru kulihat warna mata seunik itu, diikuti wajah putihnya,
ketimbang dibilang orang cantik, mungkin lebih bijak bila menyebutnya menggemaskan
atau lucu, sudah pasti penyebabnya adalah tinggi badannya itu.
“eh maaf. Aku sedang mencari orang bernama
mesato rengge.” Kataku dengan menundukkan badan. Hampir saja aku ingin bertanya
‘orang tuamu mana? Apakah kau tersesat?’ tapi untung aku segera tersadar kalau
dia memakai seragam smp barat. Yang berarti dia bukanlah anak kecil! Dia juga
murid smp ini.
“aku mesato rengge.” Akunya dengan enggan dan
memancarkan aura sinis.
“oh, kau mesato renge-eeeh?!” aku terkejut
melihat bahwa ekspetasiku tak sama dengan orang yang kubayangkan.
“jangan menyambung namaku dengan rasa
keterkejutanmu, dasar tidak sopan!” bentaknya dengan keras. Walaupun ekspresi
marahnya sangat lucu, tapi bisa kusimpulkan dia orang yang emosional dan tidak
sabaran, itu karna dia nampak terbiasa menghentak-hentakkan kaki menunggu orang
membalas pertanyaannya.
“maaf, kukira rengge itu nama laki-laki, apa
lagi ada kata mesato.” Aku meminta maaf dan agak heran dengan nama gadis kecil
ini.
“apakah kau mengejek namaku?” dia bertanya kembali,
dan hentakan kaki itu menunggu jawaban dengan paksa.
“tidak-tidak! aku seperti pernah mendengarnya
saja kok.” Diriku mulai takut dan mencari-cari alasan.
“hmm..kau cukup tahu ya?” dia mulai tersenyum.
“benar sekali, aku adalah pemilik industri sekaligus toko kerajinan kayu terbesar
di kota ini, Mesato Corporation!” jelasnya dengan membusungkan dada dan
badannya yang kecil itu.
Diriku mulai teringat dengan hal yang
dibicarakan gadis ini, itu adalah industri sekaligus toko yang cukup terkenal
di dekat rumahku. Tapi dari dulu aku tak pernah tahu tentang orang ini. Rasa
ingin tahuku serasa di tarik ke permukaan oleh gadis satu ini.
·
“kau ingin aku mengajarimu? Berhentilah
bercanda! Aku tidak mau melakukan hal yang merepotkan seperti itu.” Dia membentak
permintaanku dengan nada tak peduli dan berjalan kembali ke salah satu sudut
atap yang terdapat beberapa buku dan cemilan berserakan di sana. Kurasa karna
badannya yang terlalu pendek jadi aku tidak melihatnya di pandanganku tadi.
“huh, tak bisa ya? Padahal aku sudah membeli
beberapa roti lapis ini.” Tatapku sedih ke arah kantong plastik berisi beberapa
roti lapis beraneka rasa. Inilah yang di sebut ‘sesajen’ oleh iron man tadi.
Katanya ini bisa membujuknya, sayang sekali.
“roti lapis!” tiba-tiba saja siswi pendek ini
berbalik dengan rasa penasaran yang tinggi diikuti mata green diamondnya yang
berbinar-binar. Kurasa umpan ini sangat efektif.
Kulihat dia kembali ke arahku seolah roti
lapis ini menariknya seperti magnet, sungguh kekuatan makanan yang luar biasa!
Tatapku heran kepada sang roti lapis.
Kulihat pandangan lapar gadis ini melihat
dengan sangat berharap ke arah plastik putih yang kubawa. Kugerakkan plastik
ini ke kiri, dan kepala gadis ini seolah mengikutinya ke kiri, ku gerakkan ke
kanan dan dia mengikutinya ke kanan. Merasa ketagihan dengan tingkah lucu ini,
aku menggerakkan plastikku ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Bisa kulihat dia
mulai pusing karna gerakan berulang yang dia lakukan.
Tinggin badan yang tidak seberapa dan ekspresi
lucu yang menggemaskan, bisa kulihat kalau gadis mungil ini nampak seperti
marmoset.
Ekspresi lucunya mulai berubah menjadi sedikit
marah, dia yang mulai kesal itu menyambar plastikku dengan tangan kecilnya,
gerakan yang cepat sampai-sampai aku tidak sadar. Saat aku menyadarinya,
plastik berisi roti lapis itu sudah ada di pelukannya yang erat tersebut.
Dengan wajah malu dan sikap yang acuh setelah
merampas barang orang, dia mengalihkan pandangannya seolah tak mau bertatap
muka langsung. “baiklah! Akan kuajari. Hanya matematika sajakan? Itu sih hal
mudah bagi anak tukang kayu sepertiku.” Katanya sambil membangga-banggakan
profesi orang tuanya.
“benarkah?” tanyaku dengan bersemangat.
“bila kau bertanya hal semacam itu lagi, maka
aku akan berubah pikiran.” Dia nampak mengacuhkanku dan tersenyum bahagia ke
arah kantong plastik yang ada di genggamannya. “lagi pula siapa namamu, dan
dari mana kau tahu kalau aku suka sekali roti lapis?” dia lanjut bertanya.
“namaku zeno yahya, aku mendengar tentangmu
dari guru matematika.” Kataku tak mau menyebut nama iron man, karna aku sendiri
tak tahu nama orang itu.
“jadi si iron man sialan itu ya? Dasar.” Dia
nampak mengeluh sambil menyumpahi guru matematika kami, kasihan sekali kau,
iron man. “perkenalkan, namaku mesato rengge, dan seperti yang kau tahu, aku
adalah pemilik industri mesato corporation.” Jelasnya dengan nada bangga seolah
menyuruhku takjub akan dirinya itu.
“jadi bisakah sekarang aku memintamu
mengajariku?”tanyaku sambil mengangkat buku matematikaku.
Dia tersenyum dengan percaya diri. “boleh
saja, tapi aku bukanlah guru yang baik loh.” Yakinnya padaku.
“tolong jangan keras-keras padaku.” Kataku
sedikit mengeluh.
Entah ada apa dengan pertermuan aneh ini,
walaupun dia lebih aneh ketimbang yang kupikirkan, tapi entah kenapa aku merasa
kalau aku bisa berbaur dengannya. Seorang marmoset kecil penunggu atap, kuharap
dia tidak sekeras sikap tidak sabarannya saat mengajariku.
Aku menatap langit mendung yang beranjak mulai
cerah kembali. Kurasakan bahwa sinar mentari yang tadinya tertutup gelapnya
sang awan hitam, kini mulai menunjukkan sinarnya yang menghangatkan tubuh. Aku
mulai menatap ke langit, dan mulai teringat.
Beberapa hari lalu, di tengah hujan deras yang
dengan sadis menghujami tubuhku. Aku tanpa sengaja melihat seorang gadis kecil
bermantel biru, sedang meratap ke ketinggian sebuah pohon sambil mulai
meneteskan air mata. Saat itu perasaana aneh dan hangat tercampur aduk di dalam
dadaku.
Kini aku bertemu dengannya, seorang gadis
kecil yang mengingatkanku pada kejadian itu. Seekor marmoset kecil yang tidak
sabaran. Memiliki mata green diamond dengan
tatapan tajam yang kurang sabaran dalam menunggu sesuatu. Dan yang
paling kutahu, dia penggila roti lapis.
Perasaan begejolak apa ini? Ingatanku mulai
kacau dan membuat hipotesanya sendiri, apakah gadis itu dengan orang ini adalah
orang yang sama? Sebuah tanda tanya tergantung di dalam pikiranku. Membuatku
semakin penasaran dengan gadis kecil ini.
Yang pasti, aku akan menyelidiki hal itu
sambil menerima pelajaran privat dari gadis ini.
Huh.
Komentar
Posting Komentar