Langsung ke konten utama

project [ ] bab 1



Prolog:

Hampa.

Hatiku serasa kosong.

Ini peringatan kelima semenjak saat itu.

Dan sudah lima tahun berlalu semenjak kejadian tersebut.

Lima tahun yang lalu, aku menangis dengan terisak-isak. Menangis di depan sebuah foto di sebuah rumah, lebih jelasnya di sebuah rumah duka. Aku meratapi kehilangan itu dengan mendekam dalam tangisan.

Karangan bunga duka menghiasi foto dengan sebuah senyuman tak berdosa tersebut.

Mataku memanas, rasanya semua hal yang kulakukan selama ini sia-sia. Lalu tanpa kusadari, air mata mulai deras mengalir ke pipiku. Dan dengan perlahan mulai menetes ke lantai.

Dipenuhi kesedihan, aura berkabung ini membuatku semakin mendekam dalam kesedihanku sendiri. Perasan menyesal dan hampa ini membuat dadaku sesak. Dadaku benar-benar sesak, nafaskupun tak beraturan sama sekali.

Semua orang menangis dan bersedih, tapi air mata mereka semua hanya karna formalitas dan rasa kasihan semata. Akulah yang paling menderita dan tertekan, karna aku yang paling mengenal dan memahaminya.

Memahami orang yang sekarang hanya tinggal nama tersebut.

Semakin aku mengingat tentangnya, semakin dadaku sesak oleh sesuatu. Rasanya aku mulai mengepal tanganku dengan sangat erat, benar-benar erat. Lalu mulai menghantamkannya ke dadaku.

Berhentilah menangis! Lemah! Aku memukul-mukulkannya sambil memaki-maki diriku sendiri.

Andaikan, andai saja. Aku tetap bersamanya saat itu. mungkin kami masih berbagi tawa sekarang. masih menikmati rasa kesenangan itu berdua. Oh tidak, dadaku semakin sesak.

Aku kembali teringat tentangnya. Jelas sekali, dan sangat jelas.

Waktu itu aku mulai mendengar suara pekik yang memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.

Untuk beberapa saat, aku tidak bisa mendengar dengan jelas suara itu. tapi, sebuah hembisan dingin mulai membuka mulutku dan menjernihkan suaraku. Dan aku mulai mendengar dan menyadarinya.

Pemilik suara itu...adalah aku.

[...]

Lima tahun berlalu dengan cepat, tapi ketika aku kembali mengingatnya, waktu mulai berlalu dengan lebih lambat.

Aku tengah berdiri dengan sebuah payung di tengah rintik-rintik gerimis. Menghadap sebuah makam. Kurasakan sepatu hitamku mulai terkena lumpur khas pemakaman, dan pundakku mulai menggigil dibahasi oleh air hujan yang tak terhalang payung hitam yang kupakai.

Setelah meletakan beberapa tangkai bunga yang dibungkus rapi oleh plastik itu, akupun mulai berdiri kembali sambil menatap tulisan yang tergores di sana. Tak lupa kuletakkan sebuah permen lolspop kesukaannya di sana.

Lekukan dari baju sekolah berbalut jas hitam yang kupakaipun mulai lurus kembali, dan mata bosanku mulai melihat makam tersebut untuk kesekian kalinya.

“sudah lima tahun ya...haruna.”

Aku bicara dengan sebuah makam. Tidak, aku sedang berbicara dengannya. Dengannya yang sudah terbaring di dalam sana. Tenang, sangat tenang sekali. Wajah bosankupun mulai menunjukkan sebuah senyuman yang dipaksakan.

Aku mencoba untuk kuat.

“maafkan aku...maaf karna tidak pernah memahamimu.”

Walaupun mencoba untuk kuat didepannya, nyatanya aku kembali tertunduk di sana. Mungkin tidak pantas untuk menangis di usiaku ini, aku sudah kelas tiga sma sekarang. tapi dadaku kembali sesak dan mataku kembali memanas.

Sambil menahan tangisan di tengah gerimis panjang, hal yang kulakukan hanyalah meminta dan terus meminta maaf. Memintanya pada sebuah makam yang tak mungkin membalas permintaan maafku.

Awan hitam yang menyelimuti kota, dan rintik hujan yang bertebaran memadu sebuah luka. Air mata yang berasal dari rasa mengasihani diri sendiri ini, mulai tercampur dalam nyanyian hujan di sebuah pagi.

[...]

Melangkahkan kaki mengikuti jalan setapak di pemakaman kota, mataku mulai melihat seseorang dengan payungnya tengah berdiri menatap sekitar. Tanpa kurasakan, dia nampak tersenyum padaku, sepertinya dia sedang menungguku.

Akupun menghampirinya.

“sedang kunjungan tahunan ya?” tanyanya dengan ramah.

“begitulah, kau sendiri?”

“aku tak sengaja lewat, kebetulan aku melihatmu di sana. Mau pulang bersama?”

“boleh.”

Aku tengah berbicara dengan temanku, temanku sedari sd. Dia bernama kaori kana, seorang wanita feminim yang agak susah berbicara dengan orang yang tak dikenalnya. Dia dulu sangatlah pemalu, tapi sekarang dia nampak agak terbuka denganku.

Kurasa itu mulai terjadi setelah kematiannya. Aku kembali melihat ke arah makam sebelum akhirnya mulai berlalu dengannya.

“kaori sendiri, tidak mengunjunginya?”

“ah, maaf. Kemarin aku mengunjungi makam keluargaku, jadi sekalian mengunjunginya. Maaf tidak mengajakmu kemarin.” Wajah manisnya tengah meminta maaf.

Rambut berwarna coklatnya tergerai sampai daerah sekitar punggung, menempel bak sebuah tirai yang menutupi beberapa daerah tersembunyi. Wajah halusnya mungkin akan memukau siapa saja yang berpapasan dengannya. Walaupun termasuk cantik, tapi kurasa lebih tepat bila menyebut bahwa dia mempunyai sebuah ekspresi tegas khas milik lelaki. Ya, walaupun itu tersembunyi dibalik sifat feminim wanitanya. Tapi itu cukup menambah poin keunikan miliknya.

“tidak, tidak masalah bagiku. Sendiri ataupun bersama, semua tanggung jawab hanya soal perasaan hati.”

“kau mengutip kata-katanya.” Singgung kaori pelan.

“mungkin ini caraku mengheningkan cipta, khusus untuknya.”

Jadi tanpa sengaja aku kembali mengutipnya, kalimatnya? Rangsangan ringan ini membuatku kembali menggali memori-memori yang terpendam.

“tapi tak sengaja tadi pagi, aku melihat kakaknya berkunjung ke makam.”

“apa yang dia inginkan? Maksudku orang jahat itu.”

Aku membencinya, kakaknya itu sangat membenci adik semata wayangnya tersebut. Dia suka melakukan kekerasan kepada adiknya, sampai-sampai aku berpendapat bahwa pembunuhan misterius itu, dialah pelakunya.

Benar sekali, itu sebuah pembunuhan tanpa sebab, bukti maupun tersangka. Lima tahun lalu dia menghilang dari dunia ini tanpa meninggalkan bekas apapun. Untuk keluarga, maupun untuk kepolisian kota.

Aku mulai termenung sambil berjalan di samping kaori.

‘dia sendiri saat itu! kuyakin ada yang membunuhnya! Tidak mungkin dia dibunuh tanpa sebab!’

Itulah yang kukatakan kepada beberapa polisi yang meminta keteranganku sebagai teman dekatnya. Aku memang tidak dicurigai sebagai tersangka, tapi aku tidak bisa tenang saat pemeriksaan. Itu karna waktu itu aku masih belum percaya, kalau dirinya sudah tiada.

“...seto?”

“ugh...iya, ada apa?” aku terbangun dari pemikiranku. Di saat suara feminim kaori memanggilku.

“aku tahu kau sangat terpukul, tapi jangan pernah berpikir kalau kematian itu disebabkan olehmu, oke?” dia cukup khawatir kepadaku.

“baik, lagi pula aku tidak memikirkannya.” Jawabku berbohong.

Lagi pula sudah terlalu lama semenjak aku memikirkannya, sudah lima tahun berlalu. Kurasa aku harus mulai melupakan kehadirannya yang sangat berarti untukku. Seperti itulah dirinya bagiku. Sangatlah berarti.

Mungkin aku akan mulai melupakannya, sampai aku berpikir seperti itu, sebuah pesan dari orang yang misteriuspun mulai menggetarkan smartphoneku dan memulai cerita ini:

“maukah kau bermain sebuah game? Dan kembali ke masa lalu?”

[...]























Bab 1: revival game

Smart phoneku berdering kencang, namun tidak berisik. Aku membuka layarnya tanpa sepengetahuan kaori di sampingku. Tampilan menu itu menunjukkan pengirim yang tidak diketahui, alias ‘Unkwon’.

‘maukah kau bermain sebuah game? Dan kembali ke masa lalu?’

Itulah yang tertulis disana, hal itu sontak sedikit menarik garis bibirku membentuk sebuah senyuman tak percaya. Jaman sekarang ada-ada saja, pikirku sambil melupakan kesedihanku.

‘memangnya kau ingin aku bermain apa?’

Tanpa sadar tanganku menjawab pesan itu, kurasakan rasa antusiasku datang dalam menanggapi pesan aneh ini.

“kau sedang apa?” tiba-tiba, suara feminim nan lembut menyentuh telinga kiriku.

“ah...tidak, hanya sebuah permainan.” Lagi-lagi aku berbohong pada kaori.

Kaori kana adalah gadis pendiam dan pemalu yang cukup baik dan sangat peduli pada sekitarnya. Rasa ingin tahunya pun tak berlebihan, dia tahu mana yang harus ditanyakan dan mana yang tidak. diapun cukup sadar sampai mana dia bisa menanyakan suatu hal. Gadis yang sangat peka terhadap suasana.

Kamipun duduk di sebuah halte, menunggu sebuah bus kota lewat untuk menaikinya. Sampai aku tersadar bahwa smartphoneku kembali berdansa di dalam kantong celanaku.

Itu adalah si ‘unkwon’ . dia kembali mengirimiku pesan, padahal kukira dia sudah menyerah mengirimiku pesan ngawurnya.

‘biar kutanya balik, bila kau bisa kembali memutar waktu. Game seperti apa yang kau ingin selesaikan?’

Itu membuatku sedikit merinding, rongga-rongga di kepalaku mulai memikirkan sebuah jawaban yang berkaitan dengan pesan ini. perasaanku kembali mengingat kejadian misterius itu.

Apakah orang ini ingin menggunakan game sebagai majas dari sebuah hal yang ingin aku selesaikan dan perbaiki di masa lalu? Diriku mulai bertanya-tanya, sebenarnya siapa orang ini dan apa tujuannya mengiriku pesan semacam ini.

Kalau saja, kalau saja diriku memang bisa melakukannya, maksudku kembali ke masa lalu, mungkin aku bisa saja mengulangi hal tersebut, mencegah alasan bodohku meninggalkannya sendiri, dan mencegah penyesalan terdalamku pada hari itu.


Ya, hari itu.
Hari itu, lima tahun yang lalu. Seorang gadis belia terbunuh tanpa sebab. Tanpa pelaku dan tanpa barang bukti satupun, sebuah insiden yang membingungkan. Membingungkan dan menarik saraf kelimbungan semua orang yang mengetahuinya.

Ah...tidak, aku kembali mengingatnya. Mengingat wajahnya yang tak akan terlupakan dengan cepat itu. dan seolah dari dulu memang seperti ini, dadaku kembali sesak. Aku memeganginya sambil menahannya, menahan kesakitan secara fisik dan psikologi ini.

Kulihat halte sangatlah sepi, hanya ada aku dan kaori. Lalu kurasakan kaori mulai bereaksi saat aku mulai merunduk sambil mencengkram dengan erat dada kiriku.

“seto, kau kenapa? Dadamu sesak lagi!” diapun nampak panik.

Kulihat dia mulai memegangi pundakku, tangan kecilnya berusaha membuatku menampakkan wajahku. Dia sepertinya ingin melihat ekspresi kesakitanku ini, sungguh teman yang perhatian.

Karna aku juga jarang bercanda, diapun menyimpulkan dengan cepat bahwa ekspresiku ini memang benar-benar kesakitan. Akh, kurasakan dadaku semakin sesak. Pernapasan yang tidak teraturpun mulai menambah rasa nyeri di dada, kurasakan hidungku mulai bekerja keras untuk mengaturnya.

Kaori yang nampak panik, dengan cepat merogohi kantong plastik yang dia bawa dari super market. Dia mulai mengambil sebuah botol PET 500 ml berisikan air mineral. Gadis cantik nan feminim ini dengan lucu dan panik, mulai membuka tutup botol dengan sekuat tenaga.

Dia menyodorkan botol kepadaku dengan hati-hati. Aku di suruh meneguknya dengan banyak. nampaknya diriku diperlakukan seperti anak yang sedang tersedak makanan.

Dirinya mengurusku dengan baik dengan mengibaskan tangannya yang lembut menyusuri punggunggku, dia seperti suster perawat yang sedang berseragam santai. Dan nampaknya aku benar-benar diperlakukan sebagai anak yang tersedak sekarang.

Setelah beberapa kali meneguk air mineral, akupun mulai tenang dengan mengatur pernapasan dan mulai santai.

Lalu kurasakan sebuah tangan halus mulai meraba perutku, aku tersentak kaget karna hal itu. tangan kaori sedang meraba perutku sekarang.

“lepaskan saja kancing jasnya, kau sudah jauh dari pemakaman, tidak perlu memakai pakaian berkabung ini lagi.”

“tapi itu jas sekolah kita.”

“walaupun begitu, kau tetap menganggapnya sebagai pakaian berkabung kan?”

“ugh...iya.” aku merunduk menurut.

Dia dengan hati-hati melepaskan kancing jasku, entah mengapa aku sekarang menahan nafas karna malu atau sebenarnya karna geli. kurasakan dia dengan lembutnya melepaskan jas hitam sekolahan yang kupakai dan mulai menaruh jas tersebut dalam dekapannya.

“wajahmu memerah, apakah kau demam?”

Wajahku memerah karna malu, bukannya demam! Kalau aku bilang begitu, entah apa reaksinya nanti.

“tidak, hanya saja...terima kasih atas perhatiannya.”

Dia hanya tersenyum kepadaku sambil mendekap jasku lebih erat.

Halte yang sepi dan mendung hitam yang mulai menghampiri. Sebuah kendaraan raksasapun mulai menghampiri halte yang seperti tanpa penghuni ini. itu bus kota yang kami tuju, seiring dengan mendekatnya bus tersebut, aku dibantu kaori mulai beranjak dari kursiku.

“apakah kau bisa berdiri?” nada khawatir itu menghampiriku.

“bisa, aku sudah mendingan, terima kasih.”

Lalu, kamipun masuk ke dalam bus seiring turunnya gerimis yang sudah sangat sering di hari peringatan yang agak kelam ini.

[...]

“dua halte dari sini, ada klinik dokter. Apakah kita harus memeriksakanmu? Aku sangat khawatir. Kau tadi bernafas seperti orang yang sekarat.”

“kalau dadaku sesak, berarti aku memang sedang sekarat.”

Setelah duduk berdampingan di dalam bus, hujan rintik-rintik mulai kembali jatuh untuk kesekian kalinya.

Entah ini keajaiban atau sebuah kebetulan, setiap tahun dihari ini, seingatku selalu begini, selalu gerimis dan hujan, seolah langitpun ikut mengheningkan cipta akan tragedi aneh ini.

Aku belum bisa membahasnya lagi, karna kutahu dadaku akan kembali sesak. Ini sudah terjadi semenjak kematiannya. Setiap wajahnya teringat di kepalaku, dadaku akan bereaksi dan nafasku seperti sangat berat.

Aku selalu meratapi kematiannya, mencoba menyelidiki sendiri dan mencari jawabannya sendiri. Dan saat aku mengingat ketidakadilan untuknya, sumbu dendam di dalam diriku mulai tersumut dengan perasaan aneh. Seperti aku tidak akan memaafkannya, walaupun itu kehendak bumi, maka aku akan tetap dendam kepada siapa saja yang menghendaki kejadian itu terjadi.

Sambil berpikir, kulihat getaran ringan bus mulai membuat kaori santai dalam duduknya, dia nampak mengantuk sambil memeluk erat jasku yang dia dekam dari tadi. Hawa di dalam buspun mulai ikut dingin. Seolah kasihan, aku dengan lembut menarik jasku darinya yang sedang tertidur lelap. Jaskupun kubentangkan untuk menutupi tubuh bagian depannya.

Seolah menanggapi, kaori mulai sedikit tersenyum dalam tidurnya.

Aku, kaori kana dan dirinya. Kami bertiga dulu sering sekali bermain dan bepergian bersama. Menaiki bus kota dan jalan-jalan pada hari minggu.

Mengalihkan pandanganku dari wajah lugu yang tertidur, aku mencoba memalingkan wajahku ke arah jendela bus yang di basahi oleh hujan deras. Aku selalu berusaha tak mengingat kejadian yang selalu membuat dadaku sesak itu.

Kulihat jendela yang mulai di tutupi oleh aliran air yang deras, membuat kaca jendela bus seperti lukisan nyata yang sedang di blur secara alami oleh alam. Melihatnya sedikit membuat mataku jernih dan menenangkan hatiku, membuat diriku merasakan sensasi tersendiri dalam menatapinya.

Menatapinya, maksudku hujan.

‘hujan itu melambangkan dua hal, berkah untuk manusia atau kesedihan dari alam.’

Entah kenapa aku mengingat sebuah kalimat, satu diantara kalimat yang sering dikeluarkan olehnya. Dia sering membuat ungkapan-ungkapan aneh. Dan itu salah satunya.

Lalu, smartphoneku berdering. Dan itu dari si unkwon tadi.

‘kalau kau kembali ke masa lalu, mungkin kau bisa menyelamatkannya. Masih mungkin.’

Aku mulai kesal, dia bagaikan tahu semua yang kupikirkan. Sebenarnya siapa dia? Keisengan ini sungguh tidak lucu.

‘siapa kau sebenarnya?’

Beberapa detik kemudian, smartphoneku mulai bergetar kembali.

‘kau akan mengenalku lebih dekat, itu jika kau ingin bermain denganku. Lebih tepatnya memainkan sebuah game denganku.’

Beberapa detik setelahnya, dia kembali mengirimiku pesan.

‘jawablah kalau kau ingin bermain. Maka kau akan menemukan jawaban dari rasa penasaranmu itu.’

Saraf kekesalanku mulai terbentuk, dahiku kukerutkan sambil melihat pesan ini. aku di sini tengah bersedih memikirkan kejadian lima tahun yang lalu, tapi orang yang tak kukenal ini menarik benang peristiwa itu lebih dalam.

‘kalau kau ingin bermain, akan ku ladeni dengan sepenuh hati.’

Akhirnya aku menjawabnya dengan kekesalan.

Sangat menyakitkan bila mengingatnya kembali, tapi akan kubahas hal itu lebih rinci.

Lima tahun yang lalu, teman kami berdua, temanku dan kaori ditemukan meninggal tanpa sebab, tanpa saksi dan bukti. Membuat semua orang yang mendengar kisah ini mulai limbung karna kasus aneh ini, bahkan kepolisian beranggapan demikian.

Itu terjadi saat kami masih kelas satu smp, masih mendalami masa-masa indah remaja kami.

Lalu, sebuah konspirasipun muncul. Kematiannya dikaitkan dengan seorang pembunuh berantai yang mengincar beberapa remaja putri sebagai korban, dari situ semua orang mulai menyimpulkan bahwa kematiannya terkait dengan pembunuh tersebut.

Karna terlalu shock, akupun tak begitu ingat detailnya. Aku bahkan mengurung diriku selama beberapa hari setelah kejadian tersebut.

Dia orang yang misterius, aneh dan bijaksana. Walau terkadang dia suka mengeluarkan candaan ringan yang tidak lucu, tapi kami bertiga sangat dekat dulu.

Ya, dulu...

Lebih tepatnya, kami berdualah yang sangat dekat. Tentunya kami berdua tidak mau menganggap orang sebaik kaori kana sebagai pengganggu.

Oh, tuhan. Aku mulai sesak. Kugenggam bagian dada kiri seragamku dengan erat. Aku harus kuat, setidaknya aku harus mengingat untuk mengetahui kira-kira siapa pelaku dari pembunuhan tersebut.

‘jika kau tak tahu, maka jadilah detektif untuk dirimu sendiri.’

Sambil memegangi dadaku, aku mulai menarik ujung bibirku. Dan aku mulai tersenyum, tersenyum karna masih mengingat kata-katanya. Dia benar-benar sosok yang tak tergantikan, pikirku sambil mengingatnya.

Buspun melewati jalan utama yang cukup ramai, walaupun aku tidak bisa melihat apa yang ada di balik kaca yang sedang di blur alami oleh alam ini, tapi nyaring kudengar suara bus berkali-kali memencet klakson, meminta perhatian agar mobil di depannya memberikan jalan.

Kulihat kembali gadis seusiaku yang tertidur bagaikan bayi dalam gendongan. Aku tak tega membangunkannya karna tahu dadaku kembali sesak. Oleh karna itu aku dengan hati-hati bersender di punggung kursi yang empuk ini, mulai menutup mata dan memegang dadaku dengan hati-hati.

Aku tak begitu mengingatnya, lebih tepatnya ingatanku agak buram tentang kejadian itu. kusebut saja ini amnesia karna shock belaka.

Tapi aku masih ingat, beberapa minggu setelah kematiannya, aku membaca koran harian yang memuat tentang pembunuhan itu. itu terjadi pada tanggal 16 maret pagi, mayat seorang remaja putri ditemukan tanpa nyawa di kediamannya sendiri.

Kedua orang tuanya selalu keluar kota untuk bekerja. Sementara keluarga korban tidak mempunyai satu orang pembantu sama sekali. Diduga kematian itu terjadi malam harinya, pada tanggal 15 maret.

Padahal, pada sore hari tanggal 15 maret, banyak orang yang melihatnya masih jalan-jalan di sekitar kota.

Ada yang mengaitkan kematian misterius gadis tersebut dengan pembunuh berantai yang sering dibicarakan orang-orang. Tapi aku berpendapat lain, si korban memiliki seorang kakak, hanya saja kakaknya tinggal di asrama SMAnya di tengah kota.

Aku mencurigai pria itu, karna sejak kecil kutahu dia suka menghina dan melakukan kekerasan kepada si korban.

Tapi sampai sekarang diriku hanya bisa menyangka-nyangka. Sampai sekarangpun kasus tersebut masih terasa aneh.

Kalau saja, kalau saja diriku bisa menemuinya lagi, mengungkap fakta sebenarnya di balik cerita tersebut.

Aku semakin rileks dan mulai menutup mata untuk lebih berkonsentrasi pada masalahku, kurasakan beberapa guncangan dari bus kota sedikit menggetarkan punggungku, kurasa bus ini sedang berjalan di jalan yang punya banyak lubang, mungkin.

Kurasakan sebuah sentuhan ringan dari sebelah kananku mulai menindih bahuku. Dalam konsentrasiku, aku melirik ke arah samping kanan dan kurasakan wajah gadis itu berada sangat dekat denganku. Nampaknya guncangan tadi membuat kepalanya bersender di pundakku.

Oke, aku mulai malu. Kurasakan wajahku mulai memerah sendiri. Mungkin orang akan berpikir kalau kami berdua adalah pasangan. Tapi biarlah, toh aku tak tega membangunkan wajah cantiknya ini, dia bagaikan boneka jepang yang sedang tertidur.

Aku mulai menutup mataku kembali, mulai berkonsentrasi kembali.

Sampai mana tadi...ah, ya. Aku hanya bisa mencurigainya saja, karna kenapa, ingatanku bagaikan terhapus. Ya, terhapus.

Kurasakan gambaran buram bila aku mengingatnya.

Ingatan mulai dari 10 maret hingga waktu kematiannya bagaikan terhapus begitu saja, seperti seolah-olah seseorang telah merenggutnya. Merenggut ingatan yang berharga itu.

Saat tiba-tiba aku mulai teringat kala itu, hanya ada perasaan kosong dan menyesal. Lalu, di pemakamannya, aku mulai menangis. Air mataku mulai keluar melewati pipiku dan jatuh begitu saja ke tanah.

Saat aku memeriksakannya ke dokter, tidak ada yang salah pada kepalaku. Katanya aku hanya terkena shock sementara karna kejadian itu. intinya aku amnesia karna shock.

Akupun mulai mengurung diri sejak saat itu, tepatnya aku tidak kemana-mana dan tidak beranjak dari kasur. Lima hari setelah kejadian yang membuatku shock itu, hal yang kulakukan hanya tidur saja.

Ketika aku bangun, aku hanya mulai menangis kembali, lalu tertidur setelahnya sembari berharap itu hanya mimpi. Hanya itu saja. Aku sangat lemah bukan?

Semua orang akan mengalami hal yang kualami bila seseorang yang disayangi dan kasihi tiba-tiba pergi begitu saja, sangat menyakitkan.

Lima hari berlalu, aku bagaikan mayat yang masih punya jantung yang berdetak. Pakaianku lusuh, rambutku acak-acakan dan wajahku sangat menyedihkan. Orang tuaku sampai tak bisa berbuat apa-apa.

Sampai seseorang datang ke sarangku, kenapa ku sebut sarang, karna di kamarku aku tidak hanya tidur, tapi juga mulai mengeram seperti ayam.

Dia adalah kaori, dia menungguku setiap hari, seolah membantu merehabilitasi diriku untuk kembali ke dunia nyata yang kejam ini. dia menungguku setiap hari, tanpa henti.

Awalnya aku masih tidak memerdulikan kepeduliannya. Tapi lima hari berlalu dan aku mulai merasa kasihan, atau memang aku menyadari kalau diriku ini adalah jenis orang yang tidak enakan. Mudah terusik karna masalah kecil.

Hari ke-enam, tepatnya hari sabtu. Untuk pertama kalinya selama seminggu ini, baju dan rambutku kembali rapi, mataku mulai terbersihkan dari air mata dan kantung hitam yang menempel di mata. Dengan malu-malu, aku mencoba untuk kembali bersekolah dengannya.

Dia hanya tersenyum kegirangan, tepatnya dia dan ibuku tak percaya hal itu memang terjadi. Seolah-olah aku tidak akan pernah keluar kamar lagi, di situ aku mulai merasa kesal.

Dan mulai saat itu, kaori selalu bangun lebih pagi untuk menjemput kerumah, bahkan terkadang ikut sarapan di rumah. Ibuku selalu menyambutnya setiap hari, berterima kasih karna dia berhasil menyeretku keluar kamar. Erm..mungkin bahasanya terlalu kasar, mungkin lebih tepat menggunakan kata menuntun dari pada menyeret.

Bahkan saat kedua orang tua bekerja keluar kota, dia malah ganti membuatkan sarapan untukku. Setiap hari, kurasa lebih bijak menyebut bahwa aku mempunyai seorang pengasuh dari pada menyebutnya dengan sebutan ‘istri dadakan’.

Yah, lagi pula dia sedikit lebih tua dariku, jadi ada tambahan ‘kakak pengasuh yang baik’.

Sejak itu juga dia mulai dekat dan menjadi sosok yang sangat terbuka padaku. Sifat baiknya, terkadang membuat kesedihanku sedikit meluap keluar dari ingatanku, melupakanku kepadanya yang telah tiada.

Aku sangat menghargainya, dia adalah patokan teman yang baik. Ada saat susah, maupun duka. Yang ada saat senang saja bukan teman, tapi pengikut. Karna bahkan pengikutpun, akan menjauhimu bila kau sedang dalam masalah yang berat.

Sumbernya: adalah aku.

Aku membuat teorinya, teori ini kunamakan ‘friend error’. Dimana kau mempunyai teman yang hanya ada saat kau senang. Dan saat kau susah, mereka melakukan gerakan memutar badan dan mulai menjauhimu sejauh-jauhnya.

Sebagai remaja kita harus punya ‘super filter’ sendiri, untuk membedakan mana yang namanya teman sebenarnya alias ‘original friend’ dan mana yang teman hanya sebagai pengikut alias ‘friend error’.

Mulai saat itulah aku mengakui bahwa dia salah satu dari dua orang yang kuanggap ‘original friend’.

[...]

Bus kota melaju dengan kecepatan konstan. Membuat kami berdua nyaman duduk di sini karna gerakan ini relatif nyaman. Kulihat kaori sangat kelelahan untuk hari yang masih pagi. Sesekali aku membenahi posisi jasku untuk menutupi tubuh rampingnya itu.

Tentunya aku membenahinya dengan pandangan mataku kualihkan ke arah jendela. Aku tak ingin di sebut ‘mencari kesempatan dalam ketiduran’.

Wajahnya tertidur yang mengeluarkan ekspresi lembut itu memang tidak membuat bosan siapa saja yang melihatnya. Rambutnya yang teruai lemas membuatnya seolah seperti sebuah mahkota yang memancarkan keindahan tersendiri.

Hujan mulai sedikit mereda, tapi sang awan masih nampak menangis tersedu-sedu. Itu karna masih ada hujan dalam intensitas lebih rendah terjadi setelah pertunjukan utamanya berakhir. Ya, pertunjukan utama, sebuah hujan deras.

Hujan katanya membuat beberapa dampak psikologis kepada manusia, seperti sebuah melodi yang menenangkan. Itulah yang dikatakan sebagian orang, sebuah rahmat tuhan.

Tapi masih segar di ingatanku, bahwa ada satu orang yang bimbang dalam menilai hujan.

Dia berpikir, sebuah hujan itu rahmat untuk manusia, atau sebenarnya gambaran dari kesedihan milik alam. Itulah katanya.

Ya, katanya.

‘Hujan datang saat awan tidak bisa lagi menahan senyawa dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Itu berarti hujan melambangkan ketidaksanggupan dari awan untuk menahannya air matanya bukan?’

Dia pernah bertanya beberapa hal padaku, dan beberapa hal itu termasuk pertanyaan aneh yang tak bisa dijawab. Seperti contohnya:

‘detektif hebat ada karna ada kasus pembunuhan. Atau karna ada detektif hebatlah kasus pembunuhan ada?’

Itu adalah paradoks detektif.

Lalu setelah berpikir sampai otaknya panas, diapun kembali berbicara.

‘ada banyak pertanyaan dari hidup yang membutuhkan sebuah jawaban pasti. Namun apapun jawaban yang menurutmu benar, itulah kebenarannya. Karna kaulah detektif terhebat untuk hidupmu sendiri.”

Waktu itu, sambil tersenyum kecut, aku mulai berpikir.

Apa gunanya bertanya padaku, kalau kau menjawab pertanyaanmu sendiri? dasar detektif.

[...]

Suka bertanya hal yang aneh, dan dia juga sering mengucapkan kalimat-kalimat aneh. Di rak ingatanku masih terbayang jelas, bagaimana dia suka mengungkapkan kata-kata aneh. Menurutnya itu karna dia adalah orang yang bijak.

Oke, anggap saja kalau dirinya adalah orang bijak. Kalau kita menganggapnya seperti itu, maka bisa kusimpulkan, kalau orang bijakpun tidak terlalu pintar dan cenderung pemalas.

Sumbernya adalah: dia.

Itu terjadi saat kelas lima sd. Dimana kata-kata dan rayuannya membuatku merasakan kemalasannya dalam belajar.

“kita berdua berkelompok. Dan yang kita bahas adalah esai seputar penjajahan.”

Wajahnya tidak bisa kulupakan, tapi entah kenapa, saat mengingat kenangan dengannya, hanya ada gambaran buram tentangnya, seolah ingatanku mulai terhapus secara bertahap.

“baiklah, kalau begitu, mari kita sedikit membagi tugas.” Jawabku ringan.

“tugas? Kenapa kita harus membaginya?”

“...tapi, bukankah kita kelompok?” aku mulai bingung dibuatnya.

“kamu tahu seto? Ada kalanya kamu harus menembangkan kemampuanmu dengan mengerjakannya sendiri.”

“lalu kau?”

“aku? Aku hanya akan menuliskan namaku di kertas portofolio itu dan mengumpulkannya ke guru. Intinya, aku akan menjadi mentor dari perkembanganmu.”

“ugh...nampaknya aku sedang di bodohi di sini.” Aku mulai sinis.

“lagi pula kaulah yang paling cocok menulis di sini. Karna negaramulah yang paling lama di jajah.”

“tapi kau memiliki kewarganegaraan yang sama sepertiku.”

“ah ya, kita berbagi rasa yang sama kan? Jadi kau akan menulisnya dan aku akan menikmati hasilnya.”

“sekarang nampaknya aku yang di jajah olehmu.”

“ya, karna kau sebuah tanah air yang sangat berharga untukku.”

[...]


Sebuah guncangan keras di bus kota ini membuatku tersadar dari kenangan itu. aku juga mulai sadar bahwa ada satu pesan yang masuk ke dalam smart phoneku.

Dan itu adalah si orang aneh, unkwon.

‘kalau kau benar-benar ingin bermain. Maka aku akan senang. Jadi nikmatilah perjalananmu dalam kembali ke masa lalu.’

Argh...aku seperti sedang di bodohi. Hujan ini mulai reda dan tenang, sementara hatiku tidak. hatiku masih bingung pada pesan ini.

Saat aku ingin membalas pesan dengan tangan kananku, sebuah tindihan dari samping kananku mulai membuatku tersentak. Kurasa itu kaori.

“apakah kau sudah bangun, kaori.” Aku melihat ke sampingku.

Tapi, mataku terbuka lebar, kupingku mulai menangkap suara pada tempat yang tidak seharusnya.

“erm...kau memanggilku, se-to?”

Suara itu dari kursi depan. Seorang gadis berseragam smp melihatiku dengan wajah malunya dan dengan tatapan bingung.

Aku terbelalak. Badanku mulai merinding. Itu kaori kana, dan dia sedang berada di kursi depan.

Lalu...siapa yang ada di sampingku? Memikirkannya, aku mulai meneguk liurku. Dengan tatapan ngeri, aku memberanikan diri untukku melihat ke arah sampingku.

Melihat ke arah orang yang ada di sampingku.

Kemudian, seolah tak percaya, akupun melihatnya.

Melihat sesosok gadis yang sangat berbeda dari orang yang ada di sampingku tadi.

Melihat sosok hantu di kala hujan deras yang mereda, seorang sosok yang tak mungkin untuk kulihat kembali.

[...] 

Smart phoneku bergetar, sebuah sms dengan emoticon senyumanpun menghiasinya.

‘so, let’s start the game full of this secret. ^_^’

[...]


Komentar

  1. Playtech - New Zealand's #1 supplier of gaming equipment
    Playtech, an aprcasino innovator of software and services for หาเงินออนไลน์ online gaming and wooricasinos.info iGaming products, have partnered with herzamanindir supplier 출장샵 Casino.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Sniper wanita dari Dunia Anime

Sniper adalah penembak jitu yang mampu menghabisi target dari jarak jauh. Keren kan? Di dalam dunia anime sering ada karakter yang memiliki kemampuan hebat ini, mungkin sebagian besar pengemar anime sudah mengetahui Sinon dari SAO 2. Selain Sinon masih banyak lho Sniper lainnya, Silahkan baca daftar di bawah ini: 7 Sniper dari Dunia Anime Asada Shino/ Sinon dari Sword Art Online 2 Untuk menghilangkan trauma terhadap pistol, Asada Shino bermain game online Gun Gale Online. Di game ini dia memakai nickname Sinon, sniper berbakat dengan senjata andalan PGM Ultima Ratio Hecate II. Prestasi terbaiknya adalah menjadi pemenang bersama Kirito di Bullet of Bullet ke3. Di ALfheim Online, Shino mengunakan karakter Cait Sith pemanah, dia dapat mengenai target sejauh 200m hanya dengan panah yang diperuntukkan untuk jangkauan 100m.  Mey-Rin dari Black Buttler (Kuroshitsuji) Seorang pelayan dari keluarga Phantomhive, saat pertama kali melihatnya tampak Mey-Rin hanyalah pelayan bias

proyek "no name" bab 3

BAB 3: Sampai aku menyadarinya, mesato renggepun telah menghilang. Bagian 3-1 1 bulan aku mendapatkan les privat, 1 bulan tersebutlah aku semakin mengenal sosok mesato rengge. Dia adalah seorang penyihir cilik yang sangat terkenal di dunia matematika. Tapi dunia yang dia ketahuipun bukan hanya matematika. Dia suka membaca buku, di atap sekolah ini, dia biasa meminjam dan membaca beberapa buku. Entah itu buku sastra atau hanya sekedar komik saja. Hal yang paling aku ingat saat belajar dengannya adalah kalimat “may i have a large container of coffe?” Mungkin beberapa dari kalian, terutama aku akan kebingungan saat pertama kali mendengar kalimat ini. mungkinkah ini sebuah sajak? Atau sebuah kata-kata? Tapi sayang tidak seperti itu. itu adalah sebuah kalimat kunci untuk mengingat nilai pi dalam matematika. Bila kalian hitung semua huruf perkatanya, maka akan terbentuk kumpulan huruf 3,1415926 yang merupakan nilai pi. Ya, sebenarnya banyak sekali cara unik dan